1. 2. Orang yang Membangun
Kuburnya Sebelum Ia Memasukinya
Adalah orang-orang yang selalu peduli pada
apa yang menjadi hak orang lain dan merupakan kewajibannya. Ia akan selalu
meminta maaf kepada orang yang disalahinya, sekecil apapun kesalahannya. Ia
akan selalu memandang orang lain secara seimbang dan tidak melulu fokus pada
kesalahannya, sungguh pun ia tahu bahwa perilakunya memang buruk, atau ada
orang yang sengaja menstigmakan orang itu adalah jahat.
Ia selalu menyadari bahwa segemuk-gemuknya
seekor kambing, dia pasti memiliki tulang. Dan sekurus-kurusnya seekor kambing,
dia pasti memiliki daging.
Artinya betapapun seseorang berperilaku buruk, kita tetap tidak memiliki
hak untuk menghakimi bahwa dia adalah orang yang jahat. Karena dia pasti
memiliki sisi baik yang harus dihargai dan dihormati. Pun orang-orang yang
selalu terlihat berperilaku baik, dia pasti memiliki sisi buruk. Kalau pun
sampai saat ini yang terlihat darinya adalah kebaikan, itu karena Allah SWT
sedang menutupi aibnya.
Itulah akhlak Islam...
Banyak sekali dosa-dosa yang kita lakukan
dan kita terlambat menyadarinya. Tidak ada yang mau memberikan teguran –selain Sapol
PP—karena dianggap sebagai kebiasaan, yang akhirnya menjadi pembenaran. Ambil
contoh; Mengambil trotoar yang merupakan fasilitas jalan umum sebagai tempat
berdagang atau setidaknya meletakkan plang yang dapat mengganggu hak-hak para
pejalan kaki adalah satu kesalahan yang tidak banyak orang menyadarinya.
Begitupun dengan memarkir mobil atau motor di depan rumahnya sendiri, namun
mengganggu para pengguna jalan lainnya adalah kesalahan yang sama.
Kesalahan-kesalahan –yang sering disebut
sebagai kebiasaan— ini berpotensi besar untuk mempersempit kuburan kita.
Mengapa kita tidak cenderung berpikir besar
untuk memberikan kelapangan dan kemudahan kepada orang-orang di sekitar kita. Bukankah
hakikatnya kita juga sedang melapangkan dan memudahkan diri sendiri?
Saya sekarang menjadi lebih mengerti,
betapa agungnya Rasulullah saw yang selalu berpikir untuk memaslahatkan hidup
umatnya. Dalam riwayat Ibn Umar ra, Rasulullah saw pernah ditanya oleh seorang
lelaki Anshar. Setelah menguluk salam, ia berkata;
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا،
قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا
وَ أَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ إِسْتِعْدَادً، أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
“Ya
Rasulallah, orang mukmin manakah yang paling baik?.” Beliau menjawab; “Yang
paling baik budi pekertinya.” Laki-laki itu bertanya lagi; “Orang mukmin
seperti apakah yang paling cerdas?.” Beliau menjawab; “Yang paling banyak
mengingat mati dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk alam berikutnya.
Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibn Majah no. 4259,
dihasankan oleh Al Albani)
Sampai pada titik ini... masih ‘pede’kah
kita untuk dengan lantang berkata, bahwa kita termasuk golongan orang-orang
yang berakal?
Semoga....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar