Senin, 17 November 2014

RINDU BAITULLAH

"Tidak ada sesuatu yang lebih Aku cintai dari seorang hamba melebihi saat ia mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan fardhu. Tidak henti-hentinya ia  untuk mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku sampai mencintainya, Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat segala sesuatu. Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar segala sesuatu. Aku akan menjadi tangannya yang dengannya dia melakukan segala sesuatu. Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah. Apabila ia berdoa kepadaKu, Aku benar-benar akan mengabulkannya. Dan apabila ia memohon pertolongan kepadaKu, Aku akan benar-benar menolongnya." (Hadits Qudsi riwayat Bukhori)

Memendam rasa rindu dan cinta kepada makhluk Allah adalah sebuah keniscayaan. Karena itu manusia akan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk mewujudkannya. Ia akan mengesampingkan segala sesuatu, bahkan kalau perlu mengorbankan jiwanya untuk itu. Karena tujuannya terasa sedemikian nyata. Yang pasti kebahagiaan sedemikian terasa dan terlihat di depan mata.
Namun dalam hal rindu dan cinta kepada Allah tidak demikian. Walau manusia menganggap hal itu sebagai suatu keniscayaan, namun mereka selalu mengesampingkannya. Hal itu dikarenakan balasan yang diberikan boleh jadi tidak seperti yang diharapkan. Karena konsep kebahagiaan dalam pandangan Allah tidak melulu berupa kesenangan dan  kelapangan hidup. Tapi boleh jadi suatu kesulitan dan penderitaan merupakan kebahagiaan itu sendiri.
Coba kita lihat seorang anak yang ditakdirkan buta dari lahir namun dia hafizh qur'an. Ketika ditanya tentang kondisinya, tidak tampak sedikitpun kesedihan di raut mukanya. Yang tampak adalah kebahagiaan melebihi kebahagiaan kita yang berpanca indera lengkap. Bahkan ketika ditanya; "Apakah engkau ingin Allah memulihkan penglihatanmu?." Ia menjawab; "Tidak." "Kenapa?." Ia menjawab; "Saya takut bila nanti Allah meminta pertanggungjawaban atas nikmat mata yang telah dianugerahkan, sementara saya tidak dapat memanfaatkannya pada hal yang semestinya." Subhanallah...betapa kecintaannya kepada Allah melampaui kelemahannya.

Tidak sedikit orang yang melampiaskan "rasa cinta dan rindunya" pada Allah dengan mengunjungi rumahNya (Baitullah), untuk ibadah haji maupun umroh. Bahkan sudah menjadi trend dan kebanggaan tersendiri. Tak heran bila mereka menyisihkan sebagian penghasilannya demi mewujudkan kerinduannya. Dan kebahagiaan yang tak terperi akan menyelimuti dirinya saat ia menjejakkan kakinya di Tanah Haram.
Namun tidak banyak orang yang merasa bahagia saat upayanya mewujudkan rasa rindunya mengunjungi Baitullah tidak membuatnya mampu menjejakkan kakinya di Tanah Haram, walau uang yang dikumpulkannya sudah memadai. Tapi Allah mengalihkannya untuk hal yang lebih baik baginya dalam pandanganNya. Mari kita cermati sebuah kisah menarik yang mungkin akan membuat kita lebih mengerti tentang "kerinduan" mengunjungi rumahNya.
Suatu malam di bulan haji, Ibn Mubarok bermimpi melihat dua malaikat berdialog; "Berapa jamaah yang pergi haji tahun ini?." Malaikat kedua menjawab; "Ada dua ratus ribu jamaah." "Berapa jamaahkah yang ibadah hajinya diterima?." "Tidak ada seorang pun," jawab yang kedua. Lalu datang malaikat ketiga yang berkata; "Ternyata Allah menerima ibadah seluruh jamaah yang berhaji tahun ini lantaran amalan seorang hamba." "Siapa dia?," tanya dua malaikat tadi. "Si tukang sol sepatu bernama Ibn Muqoffa'," jawabnya.
Ibn Mubarok terbangun dari tidurnya dengan rasa penasaran. Sehabis shalat Shubuh ia segera keluar dari rumahnya untuk mencari sebuah nama yang tersebut dalam mimpinya, Ibn Muqoffa'. Ia menyusuri jalan dari kampung ke kampung dan setiap kali menemui tukang sol sepatu disapa; "Apakah Anda Ibn Muqoffa'?." Pada sore harinya barulah ia bertemu dengan orang yang membuatnya sedemikian penasaran.
"Saudaraku, apakah nama Anda Ibn Muqoffa'?." Lelaki di hadapannya tersenyum dengan wajah berbinar; "Benar, tuan. Adakah yang bisa saya bantu? Mungkin tuan ingin saya mengesol sepatu tuan?."
"Tidak wahai saudaraku... saya menemuimu lantaran semalam bermimpi tentang engkau." Lalu Ibn Mubarok menceritakan apa yang dilihat dalam tidurnya secara lengkap, lalu bertanya; "Amalan apakah gerangan yang telah engkau lakukan, hingga Allah berkenan menerima ibadah seluruh jamaah haji yang awalnya ditolak pada tahun ini, lantaran efek dari amalanmu?."
"Tuan, mohon maaf... sebenarnya tidak ada amalan istimewa yang saya lakukan," jawabnya. "Saya memang memendam kerinduan dalam hati untuk mengunjungi Baitullah. Setiap hari saya menyisihkan sebagian dari penghasilanku untuk pergi haji. Setelah sekian tahun, akhirnya duit terkumpul dan cukup untuk berangkat ke sana.
Ketika saya hendak menyerahkan duit itu ke kafilah yang dapat membawaku ke sana, istriku menggamit pundakku sambil berkata; "Suamiku, sebelum engkau berangkat menemui kafilah, bisakah engkau membantuku?." "Tentu saja bisa, wahai istriku. Apa yang bisa kubantu?." "Apakah engkau mencium bau masakan ini," ujar istriku sambil mengendus penuh selera. "Ya." "Saya ingin makan masakan ini. Bisakah engkau mengusahakannya untukku walau semangkuk kecil ini," ujar istriku sambil menyerahkan mangkuk.
Istriku sedang hamil, tuan. Karena itu saya memenuhi permintaannya dan segera keluar mencari sumber masakan tersebut. Hingga akhirnya saya sampai di depan sebuah rumah kecil tak terawat, tempat wangi masakan tersebut berasal. Saya segera mengetuk pintunya dan beruluk salam; "Assalamu'alaikum." Tak lama kemudian, pintu dibuka dan seorang anak perempuan muncul dengan perawakan kurus dan agak pucat menjawab; "Wa'alaikumussalam... Ada yang bisa saya bantu, tuan?." "Maaf dik, engkaukah yang memasak masakan ini? Saya mencium baunya berasal dari rumahmu." "Benar, tuan." "Maukah engkau membaginya sedikit untuk saya? Istriku sedang hamil dan ingin sekali menyantap masakan ini." "Maaf, tuan... masakan ini halal untuk kami dan haram untuk tuan." "Mengapa demikian?." Anak perempusn itu membuka pintu rumahnya lebar. Di dalam terdapat dua anak lelaki yang masih kecil. "Tuan lihat dua anak kecil itu. Mereka adalah adik saya. Kedua orang tua kami sudah lama meninggal dunia. Dari pagi keduanya pingsan dua kali karena kelaparan. Lalu saya keluar untuk mencari makanan dan saya hanya mendapati seekor keledai yang sudah mati. Saya mengambil sebagian dagingnya dan memasaknya."
Mendengar penuturannya, saya tidak bisa menahan air mata. Saya pamit kembali ke rumah dengan mata sembab. Tak urung istriku bertanya mengapa saya menangis. Lalu saya ceritakan semua yang terjadi, mengapa saya tidak membawa masakan yang dipesannya. Istri saya ikut menangis. Saya memegang kedua tangannya sambil bertanya; "Relakah engkau bila uang ini kuserahkan pada mereka?." Istriku mengiyakan dengan tulus.
Saya segera keluar ke pasar untuk membeli bahan pokok dan membawanya ke kediaman 3 anak yatim itu. Saya meletakkan bahan makanan tadi di atas meja berikut seluruh uang sisanya. "Ini semua untuk kalian," ujarku kepada anak perempuan tadi. Saya hanya bermunajat kepada Allah; "Ya Allah... sampai di sini Hajiku dan sampai di sini Mekkahku."
Mendengar penuturan itu, Ibn Mubarok menangis.

Mengorbankan sesuatu yang sangat kita inginkan tentu bukan perkara mudah. Kita harus berjuang menaklukkan sifat angkuh kita yang selalu digdaya mengatakan bahwa harta ini "milik kita",  karena kita yang berusaha dan bekerja.
Keinginan yang terpendam sekian lama juga akan menyulitkan kita untuk mengakui bahwa harta yang kita miliki hakikatnya bukan "milik" kita, tapi "milikNya" yang dianugerahkan sebagai fasilitas untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya. Saat Ia berkehendak untuk mengalihkan kepemilikan itu kepada orang lain melalui perantaraan tangan kita, itu adalah sebuah kemuliaan yang dipersiapkanNya untuk kita. Masalahnya kemudian tergantung kita, ke arah mana kita menjatuhkan pilihan.
Balasannya sangat jelas seperti dikutip hadits qudsi di atas. Kita hanya perlu mempercayainya....
Semoga bermanfaat....

Selasa, 21 Januari 2014

KEINGINAN -2

Tiba-tiba sebuah kantong muncul di dadanya. Sapi itu sangat gembira dan segera memetik semua buah yang tersisa, menyimpannya ke dalam kantong. Lalu ia berjalan dengan perasaan girang.
Namun kegembiraannya sontak terhenti saat melihat seekor harimau menghadang jalannya. Auman dan deretan taring di mulut predator itu menggetarkan hatinya. Ia terkesiap... lalu ia teringat akan buah di kantong. Tanpa pikir panjang, ia memakan sejumlah besar buah tersebut sambil memibta; "Andai aku punya taring seperti harimau."  Serta metta taring muncul di mulutnya. Begitu harimau itu mengaum, dengan membesarkan hati ia juga melenguh sambil memperlihatkan taring di mulutnya. Melihat pemandangan tersebut, sang harimau lari ketakutan. Karena baru kali ini ia melihat seekor sapi dengan bentuk yang aneh dan menyeramkan.
Sapi itu tersenyum menang. "Kini... saatnya memperlihatkan perubahan ini kepada saudara-saudaraku," gumamnya jumawa. Ia berjalan bergegas, namun lagi-lagi ia tidak puas dengan cara jalannya yang lamban. Matanya memandang ke sana kemari, hingga melihat burung yang sedang terbang. Ia tersenyum sambil menyantap buah yang tersisa di kantongnya. "Andai aku punya sayap seperti burung itu," pintanya.
Begitu sepasang sayap muncul di punggungnya, ia segera terbang menuju ke gerombolannya. Setelah tiba ia menyapa gerombolannya dengan bangga; "Apa kabar kalian semua?." "Anda siapa ya?," jawab salah satu gerombolannya bingung. "Loh... kalian tidak ingat aku? Aku salah satu gerombolan kalian yang beberapa waktu meninggalkan kalia. Sekarang aku telah berubah, tidak lagi lamban seperti dulu" jawabnya penuh rasa bangga. "Kami tidak mengenal Anda. Tidak ada gerombolan kami seperti Anda," ujar gerombolannya. "Kalau kalian tidak percaya, saya akan melenguh seperti kalian," tukasnya.
Begitu sapi tersebut melenguh, tampaklah taring-taring tajam di permukaan mukutnya. Dan gerombolan sapi itu lari ketakutan.
Tinggallah sapi itu sendirian, karena gerombolannya sudah tidak menerimanya lagi. Muncul penyesalan dalam dirinya, karena ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia ingin kembali ke bentuknya semula, namun sayang persediaan buah yang ada di kantongnya sudah habis.....
Dari kisah di atas, sejatinya kita menyadari bahwa Allah menciptakan semua makhluk dengan ukuran-ukuran tertentu, yang tidak bisa dilampaui antara yang satu dengan yang lain.
Kalau pun Allah menyematkan "keinginan" hendaklah digunakan secara proporsional. Tidak semua keinginan harus tercapai. Ketika seseorang diperbudak keinginannya, saat itu pintu-pintu syetan akan terbuka lebar.
Pada titik ini, seseorang tidak lagi bisa menggunakan akal sehatnya dan pendengarannya sudah tidak berfungsi dengan semestinya. Bahkan Allah mengecapnya sebagai binatang bahkan lebih sesat lagi. (Al Furqon 42-43)
Sangat menarik untuk mencermati statement ilmuwan India dalam buku "Dunia Baru Islam", saat melihat anak-anak negerinya memuja Amerika yang mendewakan ilmu pengetahuan hingga melupakan pendidikan akhlak sebagai bekal hidup bermasyarakat;
"Anda boleh bangga terbang tinggi ke angkasa dan menari-nari laksana seekor burung. Anda boleh bangga menyelam ke dalam samudera dan berenang bagai seekor ikan. Tapi Anda tidak akan pernah mampu berdiri di atas muka bumi sebagai seorang manusia."
Semoga bermanfaat....