Rabu, 23 Oktober 2013

HARTA HALAL

Ada sebuah pertanyaan yang mungkin sering kita dengar, "Mengapa anak-anak saya berakhlak buruk? Bandel dan cenderung mengabaikan hak-hak orang lain?." Dan banyak lagi pertanyaan lainnya....
Mungkin ada yang menjawab; "Boleh jadi kurang dibekali dengan pendidikan agama sejak dini."
Orang yang bertanya akan balik menukas; "Saya rasa sudah pak, mulai dari PAUD, TPQ, SDIT, SMPIT, bahkan sampai SMAIT. Belum lagi ngajinya, bahkan kami panggil guru agama ke rumah."
"Boleh jadi faktor makanan yang masuk ke dalam tubuhnya bersumber dari yang tidak halal?."
"Masak iya... wong semuanya kami dapatkan dari harta yang halal kok. Suami saya kerja di instansi ini, sedangkan saya di perusahaan itu. Semuanya berasal dari gaji yang halal."
Dialog semacam di atas, sangat sering kita dengar. Kita selalu merasa telah melakukan hal yang "benar" di hadapan Allah dan masyarakat di sekitar kita. Sehingga kita merasa tidak patut mengalami situasi yang buruk, apalagi sampai merugikan.
Pernahkah kita berpikir tentang kerugian yang kita alami dalam suatu perniagaan, padahal kita merasa tidak pernah melakukan kesalahan. Mengapa kerugian bisa terjadi? Atau ketika kita disudutkan oleh kawan-kawan kita, padahal kita merasa tidak pernah melakukan kesalahan. (Al Kahfi  103-104)
Allah mendesain kebahagiaan itu dengan tolok ukur keharmonisan. Selama antar satu bagian dengan yang lain terjalin hubungan harmonis, bisa dipastikan tidak akan terjadi keburukan. Begitu sebaliknya. Sama halnya dengan badan kita. Jika kita merasa sakit di salah satu bagian, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa, pasti ada yang memengaruhinya.
Dalam hal akhlak buruk yang terjadi pada anak-anak, jika pendidikan Islam sudah dilaksanakan dengan baik. Besar kemungkinan yang memengaruhinya adalah asal muasal harta yang dikonsumsi.
Secara kasat mata, boleh jadi harta yang kita peroleh berasal dari sumber yang halal. Bahkan kita mengklaim telah membanting tulang siang dan malam. Berangkat sebelum matahari terbit dan kembali setelah matahari terbenam.
Namun bila dilihat lebih cermat, kita akan terbelalak dan menyadari betapa tidak adilnya kita di hadapan Allah SWT. Dan betapa naifnya kita yang selalu mempertanyakan "keabsahan" perhitungan-Nya. Padahal Allah selalu menganugerahkan nikmat berdasarkan perhitungan nilai penghambaan dan upaya seorang hamba. (An Najm 39-40) Bukankah kita sudah sangat maklum pada sebuah pepatah, "Sebesar itu upaya yang dilakukan, sebesar itu pula nilai yang didapat".
Dalam bekerja harus ada kesesuaian antara beban kerja dan imbalan yang didapat, agar tidak saling menzhalimi. Jika beban kerja sedemikian berat, sementara imbalan yang diterima sedikit, sudah pasti instansi yang bersangkutan menzhalimi pekerjanya. Demikian sebaliknya. Begitu pula bila ada seseorang suka meninggalkan pekerjaan lantaran malas atau mengandalkan teman sejawatnya, maka dua kezhaliman telah dia lakukan. Zhalim pada instansi dan temannya. (Al Zalzalah 7-8)
Ketika seseorang "tidak melakukan" tugas yang karenanya ia mendapat bayaran, seharusnya ia tidak berhak mendapat bayaran. Karena ia "tidak bekerja". Kalaupun yang bersangkutan mengambil gajinya, hukumnya menjadi Syubhat atau mungkin masuk dalam kategori Haram. Dan secara moral harusnya ia merasa malu untuk mengambil gaji yang notabene bukan haknya lagi. Bukankah mengambil sesuatu yang bukan haknya tergolong tindak pencurian?
Harta-harta semacam inilah yang banyak memengaruhi perilaku seseorang. Termasuk anak-anak yang memakan harta tidak halal yang kita suguhkan, tanpa kita menyadarinya.  Atau mungkin kita menyadari, namun kita pura-pura tidak tahu. Karena kita tidak memiliki kemampuan mengendalikan keinginan untuk menjadi kaya.
Mungkin kita perlu mentelaah firman Allah dalam Surat Al Furqon 43-44;
"Tidakkah engkau memperhatikan orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhan. Apakah engkau akan menjadi pelindung atas mereka. Ataukah engkau mengira bahwa mereka bisa mendengar dan berpikir. Tidaklah mereka kecuali seperti binatang. Bahkan jalannya lebih sesat."
Semoga catatan kecil ini membuat kita menjadi lebih mengerti. Amien....

Minggu, 06 Oktober 2013

PERBUATAN PALING DIBENCI ALLAH (Shaff 61:3)

Ketika Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mukhtar tertangkap tangan saat menerima suap, masyarakat Indonesia terperangah. Berbagai tanggapan muncul dari berbagai kalangan, disusul kemudian dengan gelombang demonstrasi membawa pamflet-pamflet yang menghujat.
Yang tak kalah menarik untuk dicermati adalah tayangan dokumentasi Akil Mukhtar saat memberikan tanggapan tentang suatu kasus suap saat ia belum menjadi ketua MK. (Tayangan ini diputar berulang-ulang, seakan-akan untuk menjadi penjelas terhadap posisinya saat ini). Di antara statementnya adalah hukuman potong jari bagi koruptor. Saat statement dimaksud dibalikkan pada dirinya dalam kondisi saat ini, ia malah menampar wartawan yang mengajukan pertanyaan.
Boleh jadi kita semua sepakat, bahwa tidak pada tempatnya seorang pejabat tinggi dengan status RI 9 melakukan perbuatan yang banyak orang menggantungkan putusan tentang perbuatan itu kepadanya.
Mengapa persoalan ini menjadi besar...? Karena yang melakukannya adalah seorang pejabat tinggi yang di tangannya suatu keputusan diputuskan.
Rasa benci masyarakat atas perilaku tidak terhormat tersebut sangat beralasan, karena Allah juga sangat benci pada setiap orang yang hanya pintar memerintahkan tapi tidak gemar melakukan apa yang diperintahkan. (As Shaff 61: 3)
Perlu dicermati bahwa ayat ini tidak hanya berlaku pada seseorang yang dipanggil guru, ustadz, atau ulama, sebagaimana yang selama ini melekat dalam benak masyarakat. Sosok mulia yang selalu diidentikkan dengan keikhlasan. Sehingga mereka dianggap tidak memiliki hak 'tawar' dalam mengajarkan ilmu agama. Ayat di atas juga berlaku pada presiden, politisi, polisi, tentara, wartawan, rakyat sipil, para orang tua,  bahkan setiap orang yang pernah menganjurkan kebaikan.
Tidak ada seorangpun yang dapat terbebas dari tanggung jawab ini, apapun profesi dan status sosial mereka. Dan di akhirat nanti semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. (Ali Imran 3:25)
Dari peristiwa ini harusnya kita banyak belajar, bahwa Allah SWT selalu memiliki cara untuk menjatuhkan (menghukum) seseorang saat ia sudah tak lagi hirau terhadap berbagai peringatan yang diberikan.
Faktanya kita selalu memilih untuk takut terhadap sesuatu yang kasat mata, padahal sesuatu itu tidak akan memberikan mudhorot apapun jika Ia tidak ridho. Namun kita tidak pernah merasa takut terhadap Allah yang sebenarnya lebih dekat dari dirinya dari benda apapun yang ada di sekitarnya....
Wallahu a'lam...