Rabu, 28 Juli 2021

SHALAT - 3

27. Pakaian Wanita Dalam Shalat

        Disunnahkan memakai baju kurung (mukenah) saat melaksanakan shalat. (Pendapat ini berdasarkan pada riwayat Umar ibn al Khatthab dan puteranya, Abdullah ibn Umar, dari Aisyah ra.)

        Imam Syafi’i; “Wanita muslimah harus menutup auratnya secara baik dan benar saat shalat. Pakaian itu tidak memperlihatkan bentuk tubuh saat melakukan aktifitas rukuk maupun sujud .”

        Siti Aisyah ra  bahkan pernah melaksanakan shalat dengan menggunakan 4 lapis pakaian.

        Imam Ahmad; “Seluruh ulama sepakat dengan baju kurung dan kerudung. Memakai yang lebih dari itu, lebih baik dan lebih menutupi.” Pendapat ini didasarkan pada hadits Ummu Salamah, ketika ia berkata;

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَتُصَلِّيَ الْمَرْأَةُ فِى دِرْعٍ وَ حِمَارٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا كَانَ سَابِغًا يُغَطِّى ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ

“Wahai Rasulullah, apakah wanita muslimah boleh mengerjakan shalat dengan baju kurung dan kerudung?.” Nabi menjawab; “Boleh, asal baju kurung itu sempurna dan menutupi bagian punggung dan kedua kaki.” (HR. Abu Daud)

        Juga riwayat Siti Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah; “Bahwa mereka (Aisyah, Maimunah, Ummu Slamah) memperlihatkan shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung.” (Dikisahkan oleh Ibnu Mundzir)

        Bagaimana dengan Wajah dan Telapak Tangan?

ü  Tidak boleh menutup wajah, semua ulama sepakat dengan pendapat ini.

ü  Mereka hanya berbeda pendapat tentang kedua telapak tangan. Dalam hal ini ada 2 pendapat;

  1. Imam Malik, Imam Syafi’i membolehkan membuka telapak tangan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada riwayat dari Ibn Abbas dan Aisyah mengenai maksud dari firman Allah; “Hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang boleh tampak darinya.” Mereka memaknai perhiasan tersebut adalah wajah dan telapak tangan.
  2. Imam Turmidzi bahwa telapak tangan dan wajah adalah bagian dari aurat. Pendapat ini dilandaskan pada hadits Rasul; “Wanita itu adalah aurat.”, dinyatakan Shahih) (HR Turmidzi) Bahkan beliau memasukkan ke dalamnya kedua kaki.

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ

“Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah mengalami masa haidh, kecuali dengan mengenakan penutup aurat.” (HR Abu Daud, dinyatakan Shahih)

 

 

28. Muslimah yang Memakai Cadar

        Dalam hal shalat, seorang muslimah harus tetap membuka cadar. Karena dapat menghalangi dahi dan hidungnya menyentuh tempat sujud secara langsung. Ibnu Abdil Bar memakruhkannya.

29. Hukum Muslimah Shalat sambil Menggendong Anak

        Shalatnya dihukumi sah, karena Rasulullah saw pernah menggendong cucunya, Umamah binti Abi Al ‘Ash, putri dari Zainab binti Rasulillah saw. Hadits ini bersumber dari Qatadah; “Bahwasannya Nabi menggendong Umamah putri Zainab di atas bahunya. Apabila bersujud, beliau meletakkannya dan apabila berdiri beliau menggendongnya kembali.” (Bukhari Muslim)

30. Shalat di Atas Alas yang Bersih

        Shalat di atas alas yang bagian ujungnya najis, hukumnya sah selama najis dimaksud tidak kena badannya saat shalat.

        Shalat di alas yang najis sedang ia tidak tahu, hukumnya sah.

        Begitupun ketika ia ragu akan najisnya tempat yang digunakan shalat, hukumnya tetap sah. Kecuali jika dia mengetahui dari awal bahwa alas yang digunakan shalat itu najis.

31. Shalat di atas kuburan hukumnya Makruh

32. Shalat di tempat pembaringan unta hukumnya sah, kecuali bila tempat itu najis.

Rasul bersabda;

فَحَيْثُمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ فَإِنَّهُ مَسْجِدٌ

“Di mana saja kamu berada dan waktu shalat sudah masuk, shalatlah, karena di mana kamu berada adalah masjid (tempat sujud).” Muttafaq ‘Alaihi)

33. Shalat di Kamar Mandi hukumnya dilarang, sesuai dengan sabda Nabi;

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْحَمَّامُ وَ الْمَقْبَرَةُ

“Seluruh bumi adalah masjid, kecuali kamar mandi dan kuburan.” (HR. Abu Daud)

34. Shalat di kandang kambing diperkenankan selama tidak ada najis.

Berdasar hadits dari Jabir bin Samurah bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw; “Apakah kami boleh shalat di kandang kambing?.” Beliau menjawab; “Boleh.” “Kalau di pembaringan unta?,” sambungnya. “Tidak boleh,” jawab beliau.” (HR Muslim)

35. Shalat di tempat puing-puing hukumnya Makruh.

Sesuai dengan sabda Nabi;

لاَ تَدْخُلُوْا عَلَى هٰؤُلَآءِ الْمُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ تُكُوْنُوْا بَاكِيْنَ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مِثْلَ مَا أَصَابَهُمْ

“Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diadzab kecuali kalian menangis karena takut tertimpa musibah seperti yang telah menimpa mereka.” (HR Bukhari, Muslim, Thabrani)

36. Shalat di dalam Gereja hukumnya Makruh, karena merupakan bentuk pengagungan.

37. Shalat di tempat sampah, tempat penyembelihan dan di jalanan hukumnya sah bila memang bersih dari najis.

38. Sunnah-sunnah Shalat

  1. Mengangkat Kedua Tangan Sunnah dalam 4 hal;
  1. Takbiratul Ihram
  2. Ruku’
  3. Bangkit dari ruku’
  4. Bangun dari Sujud Pertama. Sesuai dengan sabda Nabi; “Apabila beranjak dari dua sujud (berdiri dari rakaat yang kedua), beliau mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundaknya dan bertakbir.” (HR Abu Daud, Ahmad dan Turmidzi). Imam Syaukani menyatakan bahwa sunnah ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
  1. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits Nabi; “Rasulullah saw melintasi seorang lelaki yang sedang shalat. Orang tersebut meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Lalu beliau melepaskan tangan tersebut dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR Ahmad dengan isnad Shahih)
  2. Posisi Kedua Tangan. Ada beberapa pendapat ulama;
  1. Abu Hanifah: Posisi kedua tangan di bawah pusar
  2. Imam Syafii: Posisi kedua tangan di bawah dada
  3. Imam Ahmad: Bisa di bawah dada atau di bawah pusar
  4. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw meletakkan kedua tangannya di bawah dada. Dari Halb ath Thaa-i menceritakan; “Aku pernah melihat Rasulullah saw meletakkan kedua tangan beliau di atas dada, tepatnya di atas tulang sendi.” HR Ahmad dan Turmidzi dengan sanad Hasan)
  5. Doa Iftitah
  6. Membaca Ta’awwudz. Ibn Mundzir berkata; “Rasulullah saw selalu membaca Ta’awwudz setiap kali selesai membaca Iftitah sebelum membaca Fatihah pada rakaat pertama.”
  7. Mengucapkan; “Aamiin.”
  8. Bacaan setelah Fatihah. Sunnah membaca beberapa ayat al Qur’an pada 2 rakaat Shalat Shubuh, Shalat Jum’at, 2 Rakaat Pertama Shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’. Disunnahkan membaca surat lebih panjang pada tiap-tiap rakaat pertama. Terutama shalat Shubuh, karena memang disaksikan para malaikat. Beliau juga pernah memanjangkan bacaan pada rakaat pertama shalat Zhuhur. Sesuai dengan hadits Abu Sa’id al Khudri; “Suatu ketika shalat zhuhur dikerjakan. Ada seseorang yang perghi ke Baqi’ untuk  buang hajat. Kemudian ia kembali kepada keluarganya, berwudhu’ dan kembali, dan beliau masih mendapati Nabi pada rakaat pertama shalatnya, karena beliau memanjangkan bacaannya.” (HR Muslim)
  1. Takbir Perpindahan. Disunnahkan membaca; ‘Sami’aLlahu liman hamidahu.” Ibn Mas’ud meriwayatkan; “Aku melihat Rasulullah saw bertakbir setiap kali merendah, mengangkat, berdiri, dan duduk di dalam shalatnya.” (HR Ahmad, Nasai dan Turmidzi dengan predikat hasan)

        Ketika i’tidal, makmum disunnahkan membaca, ‘Robbana walaKal hamdu,’ selebihnya membaca, ‘Allahu Akbar.’

  1. Bacaan dalam Ruku’ dan Sujud. Ketika Ruku’ membaca, ‘Subhaana Robbiyal ‘Azhiimi wa bihamdihi.’ Ketika Sujud membaca, “Subhaana Robbiyal A’laa wa Bihamdihi.” Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw dalam ruku’ dan sujudnya membaca; “Subbuuhun Qudduusun Robbul Malaa-ikati war Ruuh.” (HR Abu Daud, Muslim, dan Nasai). Membacanya paling sedikit 1 X, bisa 3 X. Ada juga ulama yang menetapkan bahwa kesempurnaan tasbih itu dibaca sebanyak 10 X. Hal ini didasarkan pada riwayat Said ibn Jabir dari Anas ibn Malik ra; “Aku tidak pernah melihat shalat seorang pun yang menyerupai shalat Rasulullah saw selain pemuda ini, yaitu Umar ibn Abdil Aziz. Kami menduga dia membaca tasbih 10 X dalam rukuknya dan 10 X dalam sujudnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, Nasai dengan sanad Jayyid)
  2. Membaca doa di antara dua sujud. Ada bacaan yang disunnahkan untuk dibaca;
  1. رَبِّ اغْفِرْلِى، رَبِّ اغْفِرْلِى، رَبِّ اغْفِرْلِى (رواه ابن ماجه)
  2. اللَّهُمَّ اغْفِرْلِى وَ ارحَمْنِى وَ عَافِنِى وَ اهْدِنِى وَ ارْزُقْنِى (رواه أبو داوود)

“Ya Allah, berikanlah ampunan, rahmat, kesehatan, petunjuk, dan rizki kepadaku.”

اللَّهُمَّ اغْفِرْلِى وَ ارحَمْنِى وَ اجْبُرْنِى وَ اهْدِنِى وَ ارْزُقْنِى (رواه الترمذى)

“Ya Allah, berikanlah ampunan, rahmat, kecukupan, petunjuk, dan rizki kepadaku.”

  1. Tasyahhud Pertama. Pada Tasyahhud Pertama Rasulullah saw meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dan tangan kiri di atas paha kiri dengan mengangkat jari telunjuk jari dengan sedikit condong sambil berdoa. Tasyahhud Pertama ini masuk dalam kategori Sunnah, tapi para ulama sepakat untuk melakukan Sujud Sahwi bila meninggalkannya. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Buhainah; “Nabi pernah berdiri dalam shalat Zhuhur sedang beliau seharusnya duduk (Tasyahhud). Maka di penghujung shalatnya beliau bersujud dua kali, masing-masing sujud didahului bacaan Takbir, tepatnya dilakukan sebelum Salam. Para jamaah mengikuti gerakan yang sama seperti beliau. Hal ini dilakukan karena beliau lupa.” (HR Jamaah)

        Bacaan Tasyahhud yang dibaca lebih pendek dari Tasyahhud Akhir. Pada Tasyahhud Akhir ditambah bacaan;

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ (رواه مسلم و أحمد)

Sebelum menutup dengan Salam disunnahkan membaca doa yang dibaca Nabi saw;

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَ مِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ (رواه مسلم)

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari adzab neraka Jahanam, adzab kubur, dari fitnah ketika masih hidup dan setelah mati, dan dari kejahatan fitnah Dajjal.”

39. Perbedaan Antara Pria dan Wanita dalam Shalat.

        Secara umum tidak ada perbedaan, hanya saja kaum wanita diharuskan merapatkan seluruh anggota badannya saat melakukan gerakan-gerakan shalat. Demikian pula ketika duduk. Ali ibn Abi Thalib berkata; “Apabila wanita mengerjakan shalat hendaklah duduk di atas lutut dan merapatkan paha.”

40. Etika Berjalan Menuju Tempat Shalat.

        Disunnahkan berjalan menuju masjiddengan tenang, memperpendek langkah. Namun dimakruhkan menjalin kedua tangannya saat berjalan. Sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab ibn Ujrah bahwa Nabi saw bersabda; “Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu’, berwudhu’lah sebaik-baiknya, kemudian keluar dengan sengaja menuju ke masjid, hendaklah ia tidak menjalin kedua tangannya. Karena (perjalanan itu) dianggap dalam keadaan shalat.” (HR. Abu Daud)

41. Bacaan Dalam Perjalanan

        Disunnahkan membaca;

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى قَلْبِى نُوْرًا وَ فِى لِسَانِى نُوْرًا وَ اجْعَلْ فِى سَمْعِى نُوْرًا وَ اجْعَلْ فِى بَصَرِى نُوْرًا وَ اجْعَلْ مِنْ خَلْفِى نُوْرًا وَ مِنْ أَمَامِى نُوْرًا وَ اجْعَلْ مِنْ فَوْقِى نُوْرًا وَ مِنْ تَحْتِى نُوْرًا اللَّهُمَّ اْعْطِنِى نُوْرًا (مسلم)

“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hati, lidah, pendengaran, dan pandanganku, serta jadikanlah cahaya dari belakang, depan, atas, dan bawahku. Ya Allah, anugerahkan kepadaku cahaya.”

42. Bacaan Ketika Masuk dan Keluar Masjid

        Disunnahkan mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan kaki kiri ketika keluar. Diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hamid dan Abu Usaid, bahwa Nabi saw bersabda; “Apabila kalian memasuki masjid hendaklah membaca;

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Dan apabila keluar hendaklah membaca;

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ فَضْلِكَ (رواه مسلم)

        Dalam riwayat dari Fathima bint Rasulillah; “Apabila Rasulullah masuk masjid, beliau bershalawat atas dirinya kemudian membaca doa;

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ، رَبِّ اغْفِرْلِى ذُنُوْبِى وَ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Dan bila keluar membaca;

رَبِّ اغْفِرْ لِى وَ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ فَضْلِكَ

        Disunnahkan ketika masuk masjid untuk shalat 2 rakaat, sesuai dengan riwayat Abu Qatadah, Rasulullah saw bersabda;

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ (متفق عليه)

“Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, jangan duduk hingga ia melakukan shalat 2 rakaat.”

        Setelah itu duduk menghadap kiblat sambil berdzikir dan dilarang menjalin jari-jarinya. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan  Abu Said al Khudri, Nabi saw bersabda; “Apabila salah seorang di antara kalian berada di dalam masjid, hendaklah ia tidak menjalin jari-jarinya, karena hal itu termasuk perbuatan syetan. Sesungguhnya kalian dihitung dengan hitungan shalat selama di dalam masjid hingga keluar darinya.” (HR. Ahmad)

43. Berjalan di Hadapan Orang Shalat

Dilarang untuk berjalan di hadapan orang shalat kecuali di depan Sutrahnya. Nabi bersabda; “Lebih baik kalian berdiri selama 100 tahun daripada berjalan di hadapan saudaranya yang sedang shalat.” (HR Muslim)

Amr ibn Syu’aib meriwayatkan dari ayah dan kakeknya; “Bahwa Nabi saw menghadap ke dinding sebagai kiblat sedangkan kami berada di belakangnya. Lalu datang seekor hewan hendak melintas di hadapan beliau. Beliau mengusirnya dengan merapatkan perutnya ke tembok, hingga binatang itu melintas di belakangnya.” (HR Ahmad)

44. Hal-hal yang Diboleh Dilakukan Dalam Shalat

  1. Dibolehkan memberi isyarat dengan tangan atau mata, sesuai dengan hadits Anas ibn Malik; “Bahwa Nabi pernah memberikan isyarat dalam keadaan shalat.” (HR Daruquthni dengan sanad Shahih)
  2. Boleh membunuh ular atau kalajengking, kutu, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Turmidzi dengan sanad Hasan Shahih; “Nabi pernah memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam (ular dan kalajengking) dalam shalat.”
  3. Boleh melakukan sesuatu yang ringan atas sesuatu yang sangat penting, sebagaimana riwayat Aisyah ra; “Pernah Rasulullah saw shalat sementara pintu rumah terkunci. Beliau berjalan membukakan pintu untukku kemudian kembali melanjutkan shalatnya.” (HR Abu Daud)
  4. Boleh shalat sambil menggendong anak kecil, sesuai dengan hadits terdahulu saat Nabi menggendong Umamah putri Zainab.
  5. Boleh mengambil sesuatu yang jatuh dari pakaiannya.

45. Hal-hal yang Tidak Dimakruhkan Dalam Shalat

  1. Membaca bagian bagian tengah maupun bagian akhir dari surat al Qur’an
  2. Mengucapkan; ‘Alhamdulillah,’ saat bersin. Membaca ‘Bismillah’ atau ‘Innaa liLlah wa innaa ilaihi rooji’uun.’
  3. Membaca; ‘SubhanaLlah, Laa haula wa laa quwwata illaa biLlaah.’
  4. Boleh meludah ke sebelah kiri.

46. Waktu Shalat Tiba Saat Makanan Dihidangkan

        Dianjurkan untuk makan lebih dahulu bila makanan dihidangkan bersamaan dengan waktu shalat. Sesuai dengan hadits Aisyah; “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda;

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ

“Tidak (didahulukan) shalat jika makanan telah dihidangkan.”

47. Waktu Shalat Tiba Ketika Hendak Buang Air

Disunnahkan mendahulukan buang hajat, saat waktu shalat sudah tiba. Sesuai hadits dari Tsauban, Nabi saw bersabda;

لاَ يَحِلُّ لِإِمْرِئٍ أَنْ يَنْظُرَ فِى جَوْفِ بَيْتِ امْرِئٍ حَتَّى يَسْتَأْذِنَ وَ لاَ يَقُوْمُ إِلَى الصَّلاَةِ وَ هُوَ حَاقِنٌ (رواه الترمذى)

“Tidak dihalalkan seseorang melihat ke dalam rumah orang lain hingga ia meminta izin, dan tidak boleh mengerjakan shalat ketika ingin buang hajat.”

48. Hal-hal yang Dimakruhkan Dalam Shalat

  1. Mengulang-ulang bacaan Fatihah dalam rakaat yang sama
  2. Menggabungkan dua bacaan surat dalam shalat fardhu
  3. Meletakkan kedua tangan di atas pinggang
  4. Melihat sesuatu yang membuat lalai. Sebagaimana riwayat Aisyah bahwa Nabi saw pernah shalat beralaskan kain hitam empat persegi bergambar. Beliau bersabda; “Gambar-gambar ini melalaikan aku (dari shalat), bawalah kainku ini kepada Abu Jahm ibn Hudzaifah dan bawakan untukku kain tebal tanpa gambar.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud). Beliau juga pernah bersabda kepada Siti Aisyah; “Singkirkan tiraimu ini dari kami, karena gambarnya menggangguku dalam melaksanakan shalat.” (HR Bukhari)
  5. Menjalin jari jemari, sesuai dengan hadits Ka’ab ibn Ujrah pada hadits di atas.
  6. Membunyikan suara jari. Sesuai dengan hadits dari Ali ibn Abi Thalib; “Janganlah kamu membunyikan jari-jarimu sedang kamu dalam keadaan shalat.” (HR Ibn Majah)
  7. Melakukan gerakan yang tidak perlu. Rasulullah saw bersabda; “Tenanglah dalam shalatmu.” (HR Ibn Majah)
  8. Menahan kencing atau buang air besar
  9. Banyak mengusap dahi dalam shalat
  10. Duduk seperti anjing. Sesuai dengan riwayat Siti Aisyah ra; “Rasulullah saw melarang mengikuti syetan dan melarang duduk (dalam shalat) seperti duduknya binatang buas.” (HR Muslim)

49. Sujud Sahwi

Rasulullah saw bersabda; “Apabila salah seorang dari kalian lupa, sehingga terjadi kelebihan atau kekurangan dalam bilangan shalat, maka hendaklah ia bersujud 2 kali.”

 

Rabu, 14 Juli 2021

MELIHAT ALLAH

Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dikenal sebagai orang yang sangat khusyu' dalam beribadah kepada Allah. Dia akan selalu mengesampingkan segala hal yang bersifat duniawi bahkan yang bersifat pribadi daripada kepentingan Allah SWT. 
Dalam beberapa riwayat disinyalir bahwa pernah seekor nyamuk hinggap dan mengisap darah di bagian pipinya saat ia sedang shalat, namun ia tidak bergerak sedikitpun. Ketika ditanya tentang hal itu, ia hanya menjawab; 
"Jika sedang berada di hadapan orang terhormat saya tidak menghiraukan apapun selain dia, bagaimana mungkin di hadapan Allah saya tidak melakukan hal yang sama bahkan lebih?."

Suatu hari dia shalat seperti biasanya. Ada seorang lelaki Yahudi yang memperhatikan gerakannya dengan seksama. Selesai shalat, lelaki Yahudi itu bertanya; "Apa yang sedang Anda lakukan tuan. Saya lihat tuan sedemikian khusyu' tidak mempedulikan apapun yang terjadi di sekitar tuan?."
"Saya mendirikan shalat," jawab Ali.
"Untuk apa tuan shalat?," tanya lelaki Yahudi lebih lanjut.
"Saya menghamba dan mengabdi kepada Allah SWT, Pemelihara hidup dan kehidupan saya," jawabnya.
"Mengapa harus sekonsentrasi itu, seakan-akan tuan merasa sedang diawasi?," tanya lelaki itu lebih lanjut.

Ali ibn Abi Thalib memandang lelaki itu dengan seksama, kemudian tersenyum lembut sambil berkata; "Ya... saya melakukannya dengan khusyu' karena memang sedang diawasi Allah."
"Memang tuan bisa melihat Allah hingga merasakan hal demikian?," tanyanya penasaran.
"Bagaimana mungkin saya akan menghamba dengan khusyu' jika saya tidak melihatNya," jawab Ali lembut.

Lelaki Yahudi itu semakin penasaran dengan jawaban Ali ra dan kembali bertanya; "Bisakah tuan memberitahu padaku, bagaimana cara tuan melihat Allah?."

Mendengar pertanyaan itu, Ali ibn Abi Thalib menatap lelaki Yahudi dengan seksama lalu tersenyum, berkata sambil melambaikan tangan memanggilnya untuk mendekat kepadanya; "Kemarilah lebih dekat..."

Lelaki Yahudi tadi bangkit dan berjalan ke arahnya dan duduk di dekatnya. Ali ibn Abi Thalib merangkul bahu lelaki itu sambil berkata; "Coba engkau angkat dan luruskan tanganmu ke depan. Lalu bentangkan telapak tanganmu."
Lelaki itu mengangkat tangannya sebagaimana yang diminta oleh Ali; "Seperti inikah?."
"Ya... Coba kamu sampaikan kepada saya, apa yang sedang dirasakan oleh telapak tanganmu saat ini."
"Saya merasakan hawa dingin di menerpa telapak tangan saya," jawabnya.
"Anda yakin, itu hawa dingin," tukas Ali.
"Ya... tidak ada hal lain yang saya rasakan kecuali itu," jawabnya.
"Kira-kira apakah gerangan yang telah membuat telapak tanganmu terasa dingin?," tanya Ali lebih lanjut.
"Ini angin... Tidak ada hal apapun yang saya rasakan selain desiran angin menerpa telapak tanganku," jawabnya.
"Anda yakin itu angin?."
"Ya," jawabnya.
"Dari mana Anda merasa yakin bahwa penyebabnya angin. Apakah Anda melihat angin?."
"Saya memang tidak melihatnya, tapi saya bisa merasakannya," jawabnya.
"Begitupun dengan Allah wahai saudaraku... Kita mungkin tidak bisa melihat Allah dengan mata, tapi kita selalu merasakan keberadaanNya,"

لاَ تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَ هُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارُ وَ هُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ 

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al An'am [6] :103)

Sekarang saya baru mengerti, mengapa Allah SWT perlu untuk mengutus malaikat Jibril as kepada Rasulullah saw untuk mengajarkan tentang makna IHSAN...

Maa syaa Allah... Jadikan hambaMu dalam golongan hamba-hamba yang tidak hanya Muhsin tapi juga Ihsan... Aamiin

Senin, 12 Juli 2021

MEMANCANGKAN SELANG KE LANGIT

Ada sebuah pertanyaan menggelitik; "Bagaimana mungkin Allah menggariskan bahwa di dalam harta kita ada hak orang-orang miskin yang harus dikeluarkan? Logikanya di mana? Padahal yang kerja kita dan sama sekali tidak ada sumbangsih sedikitpun dari orang-orang miskin?!."

Di sebuah masjid diselenggarakan shalat berjamaah. Yang berdiri dengan shaf lurus dan rapat tentu masyarakat dari berbagai kalangan dan status sosial. Boleh jadi dalam satu barisan itu berdiri seorang pengusaha, pas di sebelahnya penjual gorengan, di sisi lainnya orang yang tidak memiliki pekerjaan. Seusai shalat mereka berdzikir dan mengangkat tangan memohon pengkabulan atas semua hajat yang diinginkannya.

Si pengusaha sehabis berdzikir mengangkat tangan, bermunajat kepada Allah agar usaha yang barus dirintisnya dianugerahkan kelancaran, karena banyak orang yang bergantung kepadanya.
Allah SWT bertanya kepada malaikat yang setiap dan petang datang silih berganti melaporkan amaliah hambaNya dan Dia Maha Mengetahui); "Siapakah orang ini?." 
"Dia seorang pengusaha ya Allah," jawab malaikat. 
"Apa yang dimintanya?." 
"Dia mohon agar usahanya dianugerahkan kelancaran."
"Bagaimana ibadahnya?."
"Bagus, ya Allah, bahkan ia istiqomah menjalankannya."
Lalu Allah berkenan mengabulkan permohonannya; "Berikan apa yang dimintanya."
Malaikat rahmat mengangkat bejana rizki lalu menuangkannya ke "selang" sang pengusaha yang terpancang sampai ke langit. Karena selang yang terpancang besar, maka yang mengalir ke hilir pun juga besar...

Si pedagang gorengan setelah berdzikir juga mengangkat tangan ke langit, bermunajat kepada Allah agar dagangannya hari ini dan beberapa hari ke depan laris, karena anaknya membutuhkan uang untuk biaya pendidikannya. Allah kembali bertanya kepada malaikatNya (dan Dia Maha Mengetahui); "Siapakah orang ini?."
"Dia seorang pedagang gorengan ya Allah," jawab malaikat.
"Apa yang dimintanya."
"Dia bermunajat agar dagangannya hari ini dan beberapa hari ke depan laris."
"Bagaimana dengan ibadahnya?."
"Bagus, ya Allah, bahkan sangat istiqomah menjalankannya."
Allah berkenan untuk mengabulkan permohonannya; "Berikan apa yang menjadi keinginannya."
Malaikat rahmat mengankat bejana rizki yang sama besar dengan si pengusaha tersebut dan menuangkannya ke "selang" pedagang kecil yang terpancang ke langit. Karena selang yang terpancang kecil, maka yang mengalir sampai ke hillir juga kecil...

Hamba yang tidak memiliki pekerjaan pun turut mengangkat tangan ke langit dan bermunajat kepada Allah agar dianugerahi rizki untuk memenuhi kebutuhan pendidikan puteranya. Allah bertanya kepada malaikat; "Siapakah lelaki ini?."
"Dia seorang hamba yang tidak memiliki pekerjaan ya Allah."
"Apa yang dimintanya?."
Dia bermunajat agar dagangannya lahir."
"Bagaimana ibadahnya?."
"Bagus ya Allah, bahkan melaksanakannya dengan istiqomah."
Allah mengabulkan permohonannya; "Berikan apa yang menjadi keinginannya.
Malaikat rahmat segera mengangkat bejana rizki yang sama besar dengan orang pertama dan kedua dan hendak menuangkannya. Namun malaikat berhenti dan bertanya kepada Allah SWT; "Mau lewat selang mana ya Allah?."
"Dia tidak memiliki pekerjaan?."
"Tidak ada ya Allah."
"Apakah ada orang kaya yang hidup di sekitarnya?."
"Ada ya Allah... si pengusaha itu."
"Titipkan rizkinya padanya."
Yang namanya titipan tentu rizki yang akan didapatkan tidak akan sebesar orang yang memiliki usaha.

Orang yang memiliki pekerjaan atau usaha ibarat orang yang memancangkan selang sampai ke langit, hingga mudah bagi Allah untuk menganugerahkan permohonannya.

Itulah logika dari firman Allah SWT; QS. Al Ma'aarij [70] : 24-25

وَالَّذِيْنَ فِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ لَّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ

"Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (namun tidak mau meminta."

QS. Adz Dzaariyat [51] : 19

وَ فِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وً الْمَحْرُوْمِ

"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian."

Rasulullah saw bersabda;

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَ تُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

"Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rizki dengan sebab adanya orang-orang lemah di antara kalian." (HR. Bukhari no. 2896)

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا، بِدَعْوَتِهِمْ وَ صَلاَتِهِمْ وَ إِخْلاَصِهِمْ 

"Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang-orang lemah di antara mereka, yaitu dengan doa, sholat, dan keikhlasan mereka." (HR. An Nasai no. 3178, Al Albani menshahihkannya)

TIGA RUMAH DI SURGA

Dalam hadits Imam Abu Daud, Rasulullah saw pernah memberikan jaminan bahwa umatnya akan mendapatkan tiga rumah atau salah satunya di surga, bila;

1. Meninggalkan perdebatan walaupun ia benar, ada sebuah rumah disediakan di surga bagian bawah
2. Meninggalkan kedustaan walau dimaksudkan untuk bergurau, ada sebuah rumah di surga bagian tengah
3. Memperbaiki budi pekertinya, ada sebuah sebuah rumah di surga bagian atas

Jaminan di atas sangatlah beralasan mengingat kondisi masyarakat dari masa ke masa yang selalu berlomba untuk menjadi yang pertama dalam memperebutkan dunia, baik harta, tahta, maupun wanita. Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

1. Perdebatan itu akan menyemaikan benih-benih permusuhan, yang pasti akan meruntuhkan nilai-nilai silaturrahim dan persatuan. Lebih-lebih bila perdebatan itu memang tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran, tapi lebih untuk melapangkan kekuasaan. 
Perhatikan... berapa banyak orang yang berdebat dengan dalih sama-sama mengabdi kepada dan demi negara. Ujung-ujungnya yang satu mematikan kredibilitas lawannya, bahkan mungkin menyingkap aibnya yang boleh jadi tidak ada hubungannya dengan apa yang diperdebatkannya. Tujuannya satu... merebut kekuasaan. Padahal untuk mengabdi kepada negara tidak harus berkuasa. Namun membantu agar pemerintahan berjalan dengan benar walau mungkin di luar kekuasaan atau mungkin tak sepaham, itu adalah perilaku nasionalis sejati.
Semua orang maklum bahwa logika kekuasaan adalah menjadi besar dengan memperkecil dan mengkerdilkan orang lain.
Karena alasan ini, Rasulullah saw menjamin sebuah rumah di surga yang paling bawah bagi siapa yang meninggalkan perdebatan.

2. Mungkin banyak di antara kita  termasuk dalam kategori ini. Keakraban kita dengan kawan-kawan kadang cenderung membuat kita bergurau hingga mungkin lupa batasannya. 
Misalnya, kawan kita yang terlambat datang ke suatu pertemuan karena suatu hal. Begitu dia sampai, kita katakan padanya bahwa dia tadi dicari oleh si Fulan yang membuatnya merasa bersalah lalu bergegas untuk menemuinya. Padahal si Fulan tidak pernah mencarinya. Lalu kita tertawa meledeknya...
Rasululullah melarang demikian, karena kita tidak tahu kondisi kawan tersebut pada saat itu. Boleh jadi kondisi kejiwaannya lagi labil hingga ia bisa marah besar. Atau boleh jadi dia lagi memiliki masalah tertentu, hingga kita bisa melukai perasaannya. Dalam kondisi ini, gurauan kita bisa jadi akan memecah tali silaturrahim antara kita.

3. Akhlak yang baik adalah puncak dari kesempurnaan seseorang sebagai manusia beragama dan berbudaya. Ia adalah harkat tertinggi dari eksistensi manusia. Ia adalah tolok ukur dari hidup dan matinya manusia. Manusia disebut hidup ketika dia tidak hanya hidup untuk dirinya tapi juga memberikan kehidupan kepada orang-orang di sekitarnya. Rasul kita diutus untuk menyempurnakan akhlak ini.
Imam Abu Hanifah mendefinisikan akhlak; "Menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, dan menghentikan keburukan yang terjadi."
Membalas keburukan yang dilakukan seseorang dengan perbuatan baik, menghormati pendapat lawan politik dengan tetap merangkulnya sebagai kawan, tidak mendiskreditkan lawan dan menghargainya sebagai kompetitor adalah bagian dari akhlak mulia.

Semoga Allah SWT selalu membimbing kita agar selalu istiqomah di atas jalanNya... Aamiin

Minggu, 27 Juni 2021

MEMBALAS KEBURUKAN DENGAN KEBAIKAN

Rasulullah saw beberapa waktu sebelum wafat terbiasa menyuapkan makanan kepada seorang Yahudi miskin, sebelum pulang ke rumah. Padahal Yahudi itu selalu mengeluarkan sumpah serapah sambil menjelek-jelekkan beliau. Bahkan berkata kepada beliau; 
"Kamu jangan dekat-dekat dengan yang bernama Muhamad ya. Dia seorang pembohong besar. Banyak orang tersihir dengan omongannya, padahal semua omongannya hanya kedustaan."
"Apakah bapak pernah bertemu dengan yang bernama Muhamad?," tanya beliau lembut.
"Belum... Bukankah engkau lihat, saya seorang buta dan tidak bisa berjalan," jawabnya. "Tapi para pemuka Yahudi dan Quraisy banyak membicarakan keburukannya," lanjutnya.
Kendatipun Yahudi tadi selalu menjelek-jelekkan beliau, tak sedikit pun beliau surut atau ada merasa sakit hati. Beliau tetap menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lembut.
Besok harinya beliau melakukan hal yang sama, menyuapkan makanan kepada Yahudi tersebut, diseling riuh suara sumpah serapah dari mulut yang disuapinya.
Setelah Rasulullas saw meninggal dunia, Yahudi itu merasa kehilangan seseorang yang menyuapkan makanan kepadanya.
Sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat lainnya suatu hari berkumpul bercengkerama. Mengenang kebersamaan yang membahagiakan dengan lelaki yang sangat mereka cintai.
Setelah sekian lama berbincang-bincang, sahabat Abu Bakar berkata; "Adakah di antara kita yang tahu kebiasaan yang biasa Rasulullah saw lakukan sebelum meninggal dunia? Mungkin kebiasaan itu bisa kita lanjutkan sebagai bentuk rasa cinta kita kepada beliau."
Setelah terdiam sejenak, sahabat Umar ibn Khatthab berkata; "Ada... Rasanya Rasulullah sering menyuapkan makanan makanan kepada seorang Yahudi buta di ujung gang. Padahal Yahudi itu selalu menjelek-jelekkan beliau. Namun beliau diam dan tidak menanggapinya."
Keesokan harinya, Abu Bakar mendatangi lelaki Yahudi tadi dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Yahudi tadi membuka mulutnya dengan gembira dan mengunyah makanan yang masuk ke mulutnya. Namun kemudian wajahnya berubah dan memegang tangan Abu Bakar yang bersiap menyuapkan makanan.
"Siapa Anda?," tanyanya.
"Saya lelaki yang biasa menyuapkan makanan kepadamu," jawab Abu Bakar lembut.
"Bukan... Anda bukan orang yang biasa menyuapkan makanan ke mulut saya," tukasnya.
Abu Bakar tetap kukuh dengan ucapannya dan lelaki Yahudi itu bersikeras mengatakan bahwa Abu Bakar bukanlah orang yang biasa menyuapinya.
"Dari mana kamu tahu... Bukankah engkau tidak dapat melihat?," tanya Abu Bakar.
"Setiap kali orang itu menyuapkan makanan ke mulutku, ada perasaan damai di hatiku. Badanku terasa segar dan bugar. Bahkan aku bisa mengunyah dengan sangat mudah, karena makanan yang dia suapkan sangat halus dan mudah ditelan," jawabnya.
Mendengar jawaban itu, air mata Abu Bakar tidak terbendung. Bayangan sosok sahabatnya yang sedemikian agung kembali terkenang. Dengan terbata-bata ia berkata; "Engkau benar... Sesungguhnya lelaki yang selalu menyuapimu makanan sudah meninggal dunia."
"Anda menangis... Kalau boleh saya tahu, siapakah gerangan lelaki itu?," tanya Yahudi itu.
"Beliau adalah lelaki yang sering Anda jelek-jelekkan dengan segala macam sumpah serapah. Namun beliau tidak pernah surut untuk tetap menyuapi Anda. Anda beliau tidak pernah membenci Anda," terang Abu Bakar.
Lelaki Yahudi itu terperangah mendengar penjelasan Abu Bakar dan menangis tersedu-sedu. Setelah mendengar penjelasan dari Abu Bakar tentang risalah yang dibawanya, lelaki itu memeluk agama Islam... Maa syaa Allah...

Dari kisah di atas kita jadi mengerti tentang akhlak Islam yang hakiki. Tidak seharusnya kita membalas keburukan seseorang dengan keburukan yang sama. Jika itu kita lakukan, maka tidak ada bedanya antara kita dengan orang yang berbuat kepada kita.
Allah berfirman, QS. Fushshilat [41] : 34-35;

وَ لاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَ لاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِى بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌز. وَ مَا يُلَقَّاهَآ إِلاَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَ مَا يُلَقَّاهَآ إِلاَّ ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ 
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-seolah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar."

Semoga Allah menganugerahi kita kemampuan melaksanakan semua perintahNya dan perintah RasulNya, serta menjauhi laranganNya dan larangan RasulNya.... Aamiin

Kamis, 18 Februari 2021

SHALAT - 2

.S.H.A.L.A.T.  2


             10. Pembagian shalat

                Shalat Wajib

Shalat fardhu yang 5 waktu

                Shalat Sunnah

Shalat Witir, sunnah Wudhu’, Dhuha, Tarawih dan Qiyamullail

                Shalat Nafilah

Shalat sunnah ghairu muakkad yang menyertai shalat fardhu

             11. Syarat Wajib Shalat

             Wanita yang sudah bersyahadat

فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ (أبو داوود و الحاكم)

             Baligh dan berakal

             Masuk waktu shalat

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَّوْقُوْتًا (النساء ۳)

             Suci dari hadats kecil dan besar

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Shubuh : Dua rakaat. Dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari

Abu Mas’ud al Anshari meriwayatkan; “Rasulullah pernah mengerjakan shalat shubuh saat masih gelap dan pernah juga pada waktu pagi sudah terang. Namun selanjutnya beliau selalu melaksanakan shalat subuh saat malam berlalu (pagi buta) sampai beliau meninggal dunia.” (Abu Daud – Baihaqi)

             Dalam hadits Siti Aisyah juga dijelaskan; “Kami wanita-wanita beriman yang pernah menyaksikan shalat shubuh bersama Rasulullah saw sambil menyelimuti tubuh dengan kain tebal. Kemudian kami kembali ke rumah masing-masing. Pada saat kami shalat, tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenali siapa di sampingnya saking gelapnya malam.” (Al Jamaah)

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Zhuhur : Empat rakaat. Dimulai dari tergelincirnya matahari, yakni condongnya matahari dari tengah-tengah langit, sampai bayangan benda sama dengan bendanya.

             Shalat Ashar : Empat rakaat. Dimulai ketika bayangan suatu benda sama dengan bendanya sampai menguningnya matahari di ufuk Barat.

“Rasulullah saw mengerjakan shalat Zhuhur pada saat panas terik sesudah tergelincirnya matahari dan shalat Ashar tatkala matahari bersih (terang sinarnya)...dst.” (Muttafaq ‘alaihi)

Shalat ini termasuk kategori Shalat Wustho, sebagaimana disinyalir hadits; “Shalat Wustho itu adalah shalat Ashar.” (Muttafaq ‘alaihi)

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Maghrib : Tiga rakaat. Dimulai dari sejak terbenamnya matahari sampai sebelum menghilangnya semburat awan merah di ufuk Barat.

             Shalat Isya’ : Empat rakaat. Dimulai sejak menghilangnya semburat awan merah di ufuk Barat.

13. Akhir Waktu Shalat Isya’

Imam Ahmad mengatakan bahwa akhir waktu shalat Isya’ adalah pada Sepertiga Malam. Nabi bersabda; “Waktu shalat Isya’ adalah antara dua waktu ini.” Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Buraiddah.

Hadits Aisyah; “Kerjakanlah shalat Isya’ pada waktu terbenamnya awan merah sampai Sepertiga Malam Pertama.” (Muttafaq ‘alaihi)

Abu Hanifah; “Akhir waktu shalat Isya’ adalah sampai pertengahan malam.” Pendapatnya didasarkan pada hadits Anas ibn Malik; “Rasulullah saw mengakhirkan shalat Isya’ sampai pertengahan malam.” (Bukhari)

             14. Waktu shalat yang utama

             Ada 3 kategori waktu shalat;

ü  Waktu utama (tepat waktu)

ü  Waktu yang diperbolehkan

ü  Waktu Darurat

Rasulullah saw pernah mengundur waktu shalat Zhuhur ketika panas matahari sangat terik; “Apabila udara sangat panas, maka Rasulullah saw menunggu sampai panas itu reda. Apabila udara sudah beranjak dingin beliau segera mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari)

Makruh hukumnya tidur sebelum shalat Isya’ sebagaimana halnya menunda tidur setelah melaksanakannya. Barzah al Aslamy meriwayatkan; “Bahwa Nabi suka mengakhirkan waktu yang para sahabat suka menyebutnya dengan sebutan ‘al ‘Atamah (mengakhirkan shalat Isya’). Dan beliaua tidak suka tidur sebelum mengerjakannya serta tidak pula berbincang-bincang sesudahnya.” (HR Jamaah)

Beliau lebih suka mengakhirkan waktu shalat Isya’ sampai pertengahan malam; “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka mengakhirkan shalat Isya’ pada Sepertiga Malam atau pertengahan malam.” (Hadits Hasan Shahih)

             15. Bagaimana hukum orang yang shalat sebelum masuk waktunya?
Orang tersebut harus mengulang shalatnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Abu Musa al Asy’ari yang mengulang shalat Shubuhnya, karena mengerjakannya sebelum masuk waktu.

16. Wanita Gila tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya

17. Bagaimana dengan wanita yang tidak sadarkan diri, adakah kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya?

Imam Malik dan Imam Syafii; Tidak ada kewajiban mengqadha’ shalat, kecuali jika ia tersadar pada bagian waktu shalat tertentu. Pendapat didasarkan pada pertanyaan Siti Aisyah kepada Rasulullah saw tentang wanita yang tidak sadar hingga meninggalkan shalat. Beliau menjawab bahwa tidak ada kewajiban mengqadha;’ shalatnya, kecuali ia sadar saat waktu shalat sudah masuk, ia harus mengerjakannya.

Imam Abu Hanifah: Apabila yang ditinggalkan hanya 5 waktu shalat, ia harus mengqadha’nya. Bila lebih, tidak ada kewajiban qadha’.

             18. Bagaimana dengan orang yang hilang kesadaran karena obat?
Apabila tidak berlangsung lama, hukumnya sama dengan orang yang tidak sadarkan diri. Tapi bila berlangsung lama, hukumnya sama dengan orang gila.
Namun bila hilang kesadaran karena minuman keras, ia tetap wajib mengqadha’ shalatnya.

19. Shalat di atas kapal.

Dalam hal ini ada 2 pendapat;

                       Ia mengerjakan shalat seperti biasa dengan ruku’ dan sujud bila memungkinan. Sujudnya harus lebih rendah dari ruku’nya, dan harus menghadap Kiblat. Ibn Umar meriwayatkan; “Aku pernah melihat Rasulullah saw shalat di atas keledai dengan menghadap ke arah Khaibar.” (Abu Daud dan Nasai). Jabir berkata; “Saya pernah diutus Rasulullah untuk suatu hajat. Aku datang      saat beliau tengah mengerjakan shalat di atas kendaraannya yang menghadap ke arah Timur, posisi sujud beliau lebih rendah dari ruku’nya.” (Abu Daud)

                Bila tempatnya luas, wanita muslimah mengerjakannya seperti biasa, tentu saja dengan menghadap ke arah Kiblat. Bila binatang tunggangannya najis, diberi alas yang dapat memisahkan tubuhnya dengan binatang tersebut.

             20. Shalat di atas kereta harus dilakukan dengan ruku’ dan sujud.
Sebisa mungkin menghadap Kiblat saat memulai dan meneruskan shalatnya walau arah kendaraanya sudah tidak menghadap Kiblat. Anas ibn Malik meriwayatkan; “Apabila Rasulullah melakukan perjalanan dan hendak shalat, beliau menghadapkan untanya ke arah Kiblat. Beliau bertakbir dan melanjutkan shalat menghadap ke arah mana kendaraannya itu  berjalan.” (Ahmad dan Abu Daud)

21. Bagaimana shalat wanita musafir yang berniat menetap?

Jika niatnya menetap, maka begitu sampai di tempat yang dituju, ia harus shalat sempurna sebagaimana masyarakat setempat. Namun bila tidak berniat menetap, ia dapat mengqashar atau menjamak shalatnya sebagaimana seorang musafir.

22. Hukum shalat yang tertinggal.

Apabila shalat tertinggal, wajib mengqadha’nya secara tertib. Jika ia lupa, gugur kewajibannya untuk mengerjakannya secara tertib.

23-24. Berijtihad menentukan arah Kiblat dan bagaimana kalau salah?

Wanita muslimah wajib berijtihad menentukan arah Kiblat. Bila ternyata ijtihadnya salah, shalatnya dianggap benar.

Bila ada yang memberitahu bahwa arah Kiblat shalatnya salah, dan ia meyakini kesalahannya, ia harus mengulang shalatnya. Bila tetap pada keyakinannya, shalatnya tetap dianggap sah.

             25. Apabila shalat diakhirkan karena tidur, kemudian ia bangun saat waktu shalat sudah hampir habis, hendaknya ia shalat wajib tanpa melakukan shalat sunnah.
Bagaimana dengan orang yang masih sempat melakukan satu rakaat shalat Zhuhur (misalnya), pada rakaat keduanya waktu Ashar masuk, maka ia masih terhitung mendapat shalat Zhuhur. Rasulullah bersabda; “Barangsiapa telah mendapatkan satu rakaat dalam shalat, maka ia mendapatkan shalat tersebut.” (HR al Jamaah)

             RUKUN SHALAT

                Niat

                Mengucapkan Takbiratul Ihram

                Membaca al Fatihah (“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al Fatihah.” (HR Daru Quthni) [Imam Malik, Syafii, Jumhur Ulama]

                Ruku’ dengan Thuma’ninah. (Abu Mas’ud Uqbah ibn ‘Amr ruku’ dengan merentangkan jari-jarinya dan meletakkannya di tempurung lututnya, sembari berkata; “Demikianlah saya mellihat Rasulullah saw mengerjakan shalat.” [HR Ahmad, Abu Daud, Nasai)

                I’tidal dengan Thuma’ninah. (Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda; “Allah tidak akan melihat shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya di antara ruku’ dan sujudnya.” [HR. Ahmad])

                Sujud dengan Thuma’ninah. Meletakkan dahi dan hidung di tempat shalat setelah dua telapak tangan, lutut serta jari-jari kaki. (Abu Wail ibn Hujr menceritakan; “Aku pernah menyaksikan Rasulullah apabila bersujud  beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya, sedang apabila bangkit dari sujud beliau mengangkat kedua tangan sebelum kedua lututnya.”) [HR al Khamsah kecuali Ahmad]

             Perlu diketahui, ada 7 anggota tubuh yang wajib bergerak saat sujud dilakukan, sebagaimana Rasulullah saw bersabda; “Aku diperintahkan bersujud di atas 7 tulang. Yaitu di atas dahi sambil menunjuk dengan tangannya ke arah hidung, kedua tangan, dua lutut, dan dua kaki.” (HR Muttafaq ‘alaihi)

                Bangkit dari sujud lalu duduk tegak dengan Thuma’ninah.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memasuki suatu masjid, lalu datang seorang lelaki dan mengerjakan shalat. Setelah selesai, ia mendatangi Nabi dengan beruluk salam. Beliau bersabda kepadanya; “Shalatlah kembali, karena sebenarnya kamu belum shalat.” Lelaki itu kembali mengulang shalatnya, lalu kembali kepada Rasulullah dengan salam, namun beliau menyuruhnya kembali untuk mengulang shalatnya.

Hal ini berlangsung sebanyak tiga kali, hingga lelaki itu berkata; “Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat yang lebih baik daripada itu. Karena itu ajarilah aku.” Beliau mengajari lelaki itu; “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, bertakbirlah, lalu baca ayat al Qur’an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah dengan thuma’ninah. Lalu berdirilah hingga badanmu benar-benar tegak, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah duduk dengan thuma’ninah, lalu sujudlah dengan thuma’ninah dalam sujud. Kerjakanlah semua itu dalam setiap shalatmu.” (HR Muttafaq ‘alaihi)

Dalam riwayat Muslim; “Apabila kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhu’, kemudian menghadap kiblat dan bertakbirlah.”

                Salam. Mengucapkan salam sambil menolehkan wajah ke arah pipi kanan dan kiri.

                Tertib