Kamis, 18 Februari 2021

SHALAT - 2

.S.H.A.L.A.T.  2


             10. Pembagian shalat

                Shalat Wajib

Shalat fardhu yang 5 waktu

                Shalat Sunnah

Shalat Witir, sunnah Wudhu’, Dhuha, Tarawih dan Qiyamullail

                Shalat Nafilah

Shalat sunnah ghairu muakkad yang menyertai shalat fardhu

             11. Syarat Wajib Shalat

             Wanita yang sudah bersyahadat

فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ (أبو داوود و الحاكم)

             Baligh dan berakal

             Masuk waktu shalat

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَّوْقُوْتًا (النساء ۳)

             Suci dari hadats kecil dan besar

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Shubuh : Dua rakaat. Dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari

Abu Mas’ud al Anshari meriwayatkan; “Rasulullah pernah mengerjakan shalat shubuh saat masih gelap dan pernah juga pada waktu pagi sudah terang. Namun selanjutnya beliau selalu melaksanakan shalat subuh saat malam berlalu (pagi buta) sampai beliau meninggal dunia.” (Abu Daud – Baihaqi)

             Dalam hadits Siti Aisyah juga dijelaskan; “Kami wanita-wanita beriman yang pernah menyaksikan shalat shubuh bersama Rasulullah saw sambil menyelimuti tubuh dengan kain tebal. Kemudian kami kembali ke rumah masing-masing. Pada saat kami shalat, tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenali siapa di sampingnya saking gelapnya malam.” (Al Jamaah)

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Zhuhur : Empat rakaat. Dimulai dari tergelincirnya matahari, yakni condongnya matahari dari tengah-tengah langit, sampai bayangan benda sama dengan bendanya.

             Shalat Ashar : Empat rakaat. Dimulai ketika bayangan suatu benda sama dengan bendanya sampai menguningnya matahari di ufuk Barat.

“Rasulullah saw mengerjakan shalat Zhuhur pada saat panas terik sesudah tergelincirnya matahari dan shalat Ashar tatkala matahari bersih (terang sinarnya)...dst.” (Muttafaq ‘alaihi)

Shalat ini termasuk kategori Shalat Wustho, sebagaimana disinyalir hadits; “Shalat Wustho itu adalah shalat Ashar.” (Muttafaq ‘alaihi)

             12. Waktu dan jumlah rakaat dalam shalat

             Shalat Maghrib : Tiga rakaat. Dimulai dari sejak terbenamnya matahari sampai sebelum menghilangnya semburat awan merah di ufuk Barat.

             Shalat Isya’ : Empat rakaat. Dimulai sejak menghilangnya semburat awan merah di ufuk Barat.

13. Akhir Waktu Shalat Isya’

Imam Ahmad mengatakan bahwa akhir waktu shalat Isya’ adalah pada Sepertiga Malam. Nabi bersabda; “Waktu shalat Isya’ adalah antara dua waktu ini.” Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Buraiddah.

Hadits Aisyah; “Kerjakanlah shalat Isya’ pada waktu terbenamnya awan merah sampai Sepertiga Malam Pertama.” (Muttafaq ‘alaihi)

Abu Hanifah; “Akhir waktu shalat Isya’ adalah sampai pertengahan malam.” Pendapatnya didasarkan pada hadits Anas ibn Malik; “Rasulullah saw mengakhirkan shalat Isya’ sampai pertengahan malam.” (Bukhari)

             14. Waktu shalat yang utama

             Ada 3 kategori waktu shalat;

ü  Waktu utama (tepat waktu)

ü  Waktu yang diperbolehkan

ü  Waktu Darurat

Rasulullah saw pernah mengundur waktu shalat Zhuhur ketika panas matahari sangat terik; “Apabila udara sangat panas, maka Rasulullah saw menunggu sampai panas itu reda. Apabila udara sudah beranjak dingin beliau segera mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari)

Makruh hukumnya tidur sebelum shalat Isya’ sebagaimana halnya menunda tidur setelah melaksanakannya. Barzah al Aslamy meriwayatkan; “Bahwa Nabi suka mengakhirkan waktu yang para sahabat suka menyebutnya dengan sebutan ‘al ‘Atamah (mengakhirkan shalat Isya’). Dan beliaua tidak suka tidur sebelum mengerjakannya serta tidak pula berbincang-bincang sesudahnya.” (HR Jamaah)

Beliau lebih suka mengakhirkan waktu shalat Isya’ sampai pertengahan malam; “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka mengakhirkan shalat Isya’ pada Sepertiga Malam atau pertengahan malam.” (Hadits Hasan Shahih)

             15. Bagaimana hukum orang yang shalat sebelum masuk waktunya?
Orang tersebut harus mengulang shalatnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Abu Musa al Asy’ari yang mengulang shalat Shubuhnya, karena mengerjakannya sebelum masuk waktu.

16. Wanita Gila tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya

17. Bagaimana dengan wanita yang tidak sadarkan diri, adakah kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya?

Imam Malik dan Imam Syafii; Tidak ada kewajiban mengqadha’ shalat, kecuali jika ia tersadar pada bagian waktu shalat tertentu. Pendapat didasarkan pada pertanyaan Siti Aisyah kepada Rasulullah saw tentang wanita yang tidak sadar hingga meninggalkan shalat. Beliau menjawab bahwa tidak ada kewajiban mengqadha;’ shalatnya, kecuali ia sadar saat waktu shalat sudah masuk, ia harus mengerjakannya.

Imam Abu Hanifah: Apabila yang ditinggalkan hanya 5 waktu shalat, ia harus mengqadha’nya. Bila lebih, tidak ada kewajiban qadha’.

             18. Bagaimana dengan orang yang hilang kesadaran karena obat?
Apabila tidak berlangsung lama, hukumnya sama dengan orang yang tidak sadarkan diri. Tapi bila berlangsung lama, hukumnya sama dengan orang gila.
Namun bila hilang kesadaran karena minuman keras, ia tetap wajib mengqadha’ shalatnya.

19. Shalat di atas kapal.

Dalam hal ini ada 2 pendapat;

                       Ia mengerjakan shalat seperti biasa dengan ruku’ dan sujud bila memungkinan. Sujudnya harus lebih rendah dari ruku’nya, dan harus menghadap Kiblat. Ibn Umar meriwayatkan; “Aku pernah melihat Rasulullah saw shalat di atas keledai dengan menghadap ke arah Khaibar.” (Abu Daud dan Nasai). Jabir berkata; “Saya pernah diutus Rasulullah untuk suatu hajat. Aku datang      saat beliau tengah mengerjakan shalat di atas kendaraannya yang menghadap ke arah Timur, posisi sujud beliau lebih rendah dari ruku’nya.” (Abu Daud)

                Bila tempatnya luas, wanita muslimah mengerjakannya seperti biasa, tentu saja dengan menghadap ke arah Kiblat. Bila binatang tunggangannya najis, diberi alas yang dapat memisahkan tubuhnya dengan binatang tersebut.

             20. Shalat di atas kereta harus dilakukan dengan ruku’ dan sujud.
Sebisa mungkin menghadap Kiblat saat memulai dan meneruskan shalatnya walau arah kendaraanya sudah tidak menghadap Kiblat. Anas ibn Malik meriwayatkan; “Apabila Rasulullah melakukan perjalanan dan hendak shalat, beliau menghadapkan untanya ke arah Kiblat. Beliau bertakbir dan melanjutkan shalat menghadap ke arah mana kendaraannya itu  berjalan.” (Ahmad dan Abu Daud)

21. Bagaimana shalat wanita musafir yang berniat menetap?

Jika niatnya menetap, maka begitu sampai di tempat yang dituju, ia harus shalat sempurna sebagaimana masyarakat setempat. Namun bila tidak berniat menetap, ia dapat mengqashar atau menjamak shalatnya sebagaimana seorang musafir.

22. Hukum shalat yang tertinggal.

Apabila shalat tertinggal, wajib mengqadha’nya secara tertib. Jika ia lupa, gugur kewajibannya untuk mengerjakannya secara tertib.

23-24. Berijtihad menentukan arah Kiblat dan bagaimana kalau salah?

Wanita muslimah wajib berijtihad menentukan arah Kiblat. Bila ternyata ijtihadnya salah, shalatnya dianggap benar.

Bila ada yang memberitahu bahwa arah Kiblat shalatnya salah, dan ia meyakini kesalahannya, ia harus mengulang shalatnya. Bila tetap pada keyakinannya, shalatnya tetap dianggap sah.

             25. Apabila shalat diakhirkan karena tidur, kemudian ia bangun saat waktu shalat sudah hampir habis, hendaknya ia shalat wajib tanpa melakukan shalat sunnah.
Bagaimana dengan orang yang masih sempat melakukan satu rakaat shalat Zhuhur (misalnya), pada rakaat keduanya waktu Ashar masuk, maka ia masih terhitung mendapat shalat Zhuhur. Rasulullah bersabda; “Barangsiapa telah mendapatkan satu rakaat dalam shalat, maka ia mendapatkan shalat tersebut.” (HR al Jamaah)

             RUKUN SHALAT

                Niat

                Mengucapkan Takbiratul Ihram

                Membaca al Fatihah (“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al Fatihah.” (HR Daru Quthni) [Imam Malik, Syafii, Jumhur Ulama]

                Ruku’ dengan Thuma’ninah. (Abu Mas’ud Uqbah ibn ‘Amr ruku’ dengan merentangkan jari-jarinya dan meletakkannya di tempurung lututnya, sembari berkata; “Demikianlah saya mellihat Rasulullah saw mengerjakan shalat.” [HR Ahmad, Abu Daud, Nasai)

                I’tidal dengan Thuma’ninah. (Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda; “Allah tidak akan melihat shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya di antara ruku’ dan sujudnya.” [HR. Ahmad])

                Sujud dengan Thuma’ninah. Meletakkan dahi dan hidung di tempat shalat setelah dua telapak tangan, lutut serta jari-jari kaki. (Abu Wail ibn Hujr menceritakan; “Aku pernah menyaksikan Rasulullah apabila bersujud  beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya, sedang apabila bangkit dari sujud beliau mengangkat kedua tangan sebelum kedua lututnya.”) [HR al Khamsah kecuali Ahmad]

             Perlu diketahui, ada 7 anggota tubuh yang wajib bergerak saat sujud dilakukan, sebagaimana Rasulullah saw bersabda; “Aku diperintahkan bersujud di atas 7 tulang. Yaitu di atas dahi sambil menunjuk dengan tangannya ke arah hidung, kedua tangan, dua lutut, dan dua kaki.” (HR Muttafaq ‘alaihi)

                Bangkit dari sujud lalu duduk tegak dengan Thuma’ninah.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memasuki suatu masjid, lalu datang seorang lelaki dan mengerjakan shalat. Setelah selesai, ia mendatangi Nabi dengan beruluk salam. Beliau bersabda kepadanya; “Shalatlah kembali, karena sebenarnya kamu belum shalat.” Lelaki itu kembali mengulang shalatnya, lalu kembali kepada Rasulullah dengan salam, namun beliau menyuruhnya kembali untuk mengulang shalatnya.

Hal ini berlangsung sebanyak tiga kali, hingga lelaki itu berkata; “Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat yang lebih baik daripada itu. Karena itu ajarilah aku.” Beliau mengajari lelaki itu; “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, bertakbirlah, lalu baca ayat al Qur’an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah dengan thuma’ninah. Lalu berdirilah hingga badanmu benar-benar tegak, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah duduk dengan thuma’ninah, lalu sujudlah dengan thuma’ninah dalam sujud. Kerjakanlah semua itu dalam setiap shalatmu.” (HR Muttafaq ‘alaihi)

Dalam riwayat Muslim; “Apabila kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhu’, kemudian menghadap kiblat dan bertakbirlah.”

                Salam. Mengucapkan salam sambil menolehkan wajah ke arah pipi kanan dan kiri.

                Tertib

 

 

Selasa, 16 Februari 2021

ORANG-ORANG BERAKAL - 3

1.      3. Orang yang Mencari Ridho Tuhannya, Sebelum Ia Menemuinya

Yang termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang tidak hanya berhenti pada “mendapat” perhatian Allah, dengan cara melaksanakan semua yang menjadi perintah dan menjauhi semua yang menjadi larangan. Namun ia akan melakukan perbuatan yang mungkin tidak termasuk dalam kategori perintah dan larangan untuk “mencuri” perhatianNya.

Jika anda berpikir bahwa shalat dan ibadah-ibdah mahdhoh lainnya bisa untuk mencapai ridhoNya, anda benar tapi belum tepat. Karena ibadah mahdhoh rewardnya sudah diatur oleh Allah dengan sistem. Anda shalat jamaah, ada 27 pahala, shalat sendiri, 1 pahala, anda tidak shalat, 1 dosa. Demikian seterusnya...

Sedikit ilustrasi; Setelah seorang guru memberikan penjelasan panjang lebar mengenai satu pelajaran, ia menulis soal di papan tulis. Muridnya bertanya; “PR pak?.” “Bukan nak... Tapi bapak akan sangat menghargai bila kalian latihan dan mengerjakannya di rumah,” jawab gurunya lembut.

Keesokan harinya setelah bel sekolah berdentang, sang guru masuk dan bertanya; “Siapa di antara kalian yang latihan mengerjakan soal kemarin di rumah?.” Para murid segera protes; “Lhoo... bukannya kata bapak bukan PR? Kami tidak mengerjakannya.” “Betul... tapi siapa di antara kalian yang mengerjakannya,” jawabnya penuh senyum. Salah seorang di antara murid-murid itu mengacung; “Saya mengerjakannya pak.” Sang guru tersenyum dengan wajah berbinar.

Semua murid yang ada di dalam kelas itu mendapat perhatian dari gurunya, tapi cuma satu yang mencuri perhatiannya.

Demikian dengan Allah... Pemelihara kita...

Jika suatu saat kita diundang Presiden ke istana negara untuk suatu acara, apa saja yang akan kita persiapkan untuk ke sana? Mungkin dari jauh hari kita sudah bersiap, dari pakaian, celana, sepatu dan aksesoris lainnya. Kita akan mematut sekian lama di depan cermin, seakan minta pendapatnya; Sudah pantaskah pakaian saya untuk bertemu dengan presiden? Mungkin juga kita akan panggil istri dan anak-anak untuk meminta pendapat tentang pantas tidaknya pakaian yang akan kita kenakan dalam acara bersama presiden. Belum lagi kita juga mematut gerak tubuh, bagaimana cara berjabat tangan sambil sedikit membungkukkan badan, menganggukkan kepala sambil menyungging senyum, cara berdiri, bahkan tutur kata pun kita persiapkan sedemikian rupa.

Jika untuk bertemu dengan seorang manusia kita sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, lalu persiapan apakah gerangan yang telah kita persiapkan untuk bertemu dengan Tuhan kita Allah SWT?

Saya tertarik pada cerita yang melegenda di bagian timur Pulau Madura yang dikisahkan dari mulut ke mulut. Tentang seorang perempuan tua bungkuk yang setiap hari berangkat ke pasar untuk berdagang. Siang harinya dia  kembali ke rumah menempuh jalan berbeda yang melewati sebuah masjid. Dia pasti mampir ke sana. Ia akan meletakkan keranjangnya di emperan masjid, masuk ke tempat wudhu untuk bersuci, lalu shalat dua rakaat. Setelah itu ia akan menyingsingkan lengan bajunya, lambat tapi pasti dia merunduk memunguti setiap helai daun yang jatuh mengotori halaman masjid. Tak berapa lama kemudian, dia duduk bersimbah keringat. Ada rasa puas di wajah keriputnya begitu melihat halaman rumah Allah itu kembali bersih.

Aktifitas ini dilakukannya setiap hari, hingga takmir masjid merasa kasihan dan membayar orang untuk membersihkan halaman masjid.

Hari itu nenek tua itu kembali seperti biasanya. Selesai shalat ia segera turun dengan lengan tersingsing. Namun duduk terpana, karena rumah Allah yang dicintainya itu telah bersih. Ia merasa kebahagiaannya terenggut dari dirinya, matanya berkaca-kaca, dan ia menangis. Merasa bersalah, takmir masjid segera menghampirinya dan menanyakan, apa yang menyebabkannya menangis. Perempuan tua itu menjawab; 

“Saya tidak lagi dapat berbuat baik hari ini.” 

“Mohon maaf nek, kami sengaja menyuruh orang membersihkan halaman masjid karena kasihan melihat nenek yang setiap hari membersihkan halaman masjid ini,” kata pengurus masjid memberikan penjelasan. Si nenek diam dengan pandangan menerawang.

“Kalau boleh tahu nek, apa yang membuat nenek mau membersihkan halaman masjid ini. Dan mengapa memungut daun dengan tangan dan tidak menggunakan sapu?,” tanya pengurus itu.

“Nenek sudah tua. Nenek juga tidak tahu, apakah ibadah nenek selama hidup nenek diterima Allah atau tidak. Nenek hanya ingin, amalan kecil ini bisa menjadi amal baik di hadapan Allah, bila ternyata ibadah nenek tidak memiliki nilai,” jawab nenek lirih. “Kalau pun nenek tidak menggunakan sapu, karena setiap kali nenek memungut sehelai daun, nenek membaca shalawat atas Nabi. Nenek berharap shalat ini akan menjadi syafaat di hadapan Allah,” ucapnya dengan suara bergetar parau.

Kisah ini memberikan gambaran tegas, betapa ibadah wajib yang dilakukan masih belum tentu membuat Allah ridho atas kita. Karena ibadah mahdhah kita hanya ‘mengundang’ perhatian Allah SWT, tapi amalan seperti yang dilakukan si nenek di atas akan ‘mencuri’ perhatianNya.

Pada titik ini, masihkan kita ‘pede’ untuk berkata bahwa kita termasuk golongan orang-orang berakal?

Semoga...

Minggu, 14 Februari 2021

ORANG-ORANG BERAKAL - 2

1.      2. Orang yang Membangun Kuburnya Sebelum Ia Memasukinya

Adalah orang-orang yang selalu peduli pada apa yang menjadi hak orang lain dan merupakan kewajibannya. Ia akan selalu meminta maaf kepada orang yang disalahinya, sekecil apapun kesalahannya. Ia akan selalu memandang orang lain secara seimbang dan tidak melulu fokus pada kesalahannya, sungguh pun ia tahu bahwa perilakunya memang buruk, atau ada orang yang sengaja menstigmakan orang itu adalah jahat.

Ia selalu menyadari bahwa segemuk-gemuknya seekor kambing, dia pasti memiliki tulang. Dan sekurus-kurusnya seekor kambing, dia pasti memiliki daging.

Artinya betapapun seseorang  berperilaku buruk, kita tetap tidak memiliki hak untuk menghakimi bahwa dia adalah orang yang jahat. Karena dia pasti memiliki sisi baik yang harus dihargai dan dihormati. Pun orang-orang yang selalu terlihat berperilaku baik, dia pasti memiliki sisi buruk. Kalau pun sampai saat ini yang terlihat darinya adalah kebaikan, itu karena Allah SWT sedang menutupi aibnya.

Itulah akhlak Islam...

Banyak sekali dosa-dosa yang kita lakukan dan kita terlambat menyadarinya. Tidak ada yang mau memberikan teguran –selain Sapol PP—karena dianggap sebagai kebiasaan, yang akhirnya menjadi pembenaran. Ambil contoh; Mengambil trotoar yang merupakan fasilitas jalan umum sebagai tempat berdagang atau setidaknya meletakkan plang yang dapat mengganggu hak-hak para pejalan kaki adalah satu kesalahan yang tidak banyak orang menyadarinya.

Begitupun dengan memarkir mobil atau  motor di depan rumahnya sendiri, namun mengganggu para pengguna jalan lainnya adalah kesalahan yang sama.

Kesalahan-kesalahan –yang sering disebut sebagai kebiasaan— ini berpotensi besar untuk mempersempit kuburan kita.

Mengapa kita tidak cenderung berpikir besar untuk memberikan kelapangan dan kemudahan kepada orang-orang di sekitar kita. Bukankah hakikatnya kita juga sedang melapangkan dan memudahkan diri sendiri?

Saya sekarang menjadi lebih mengerti, betapa agungnya Rasulullah saw yang selalu berpikir untuk memaslahatkan hidup umatnya. Dalam riwayat Ibn Umar ra, Rasulullah saw pernah ditanya oleh seorang lelaki Anshar. Setelah menguluk salam, ia berkata;

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ إِسْتِعْدَادً، أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ

“Ya Rasulallah, orang mukmin manakah yang paling baik?.” Beliau menjawab; “Yang paling baik budi pekertinya.” Laki-laki itu bertanya lagi; “Orang mukmin seperti apakah yang paling cerdas?.” Beliau menjawab; “Yang paling banyak mengingat mati dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk alam berikutnya. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibn Majah no. 4259, dihasankan oleh Al Albani)

 

Sampai pada titik ini... masih ‘pede’kah kita untuk dengan lantang berkata, bahwa kita termasuk golongan orang-orang yang berakal?

Semoga....

Sabtu, 13 Februari 2021

SHALAT

S.H.A.L.A.T

 

Shalat adalah salah satu pilar agama nomer dua setelah membaca dua kalimat syahadat. Melaksanakannya di awal waktu adalah amalan terbaik, meninggalkannya adalah kekufuran. Adapun dalil-dali yang menunjukkan kewajibannya; 

“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. An Nisa’ [4] : 103)

“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha.” (QS. Al Baqarah [2] : 238)

Rasulullah saw bersabda;

إِنَّ مَا بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ الشِّرْكِ وَ الْكُفْرِتَرْكُ الصَّلاَةِ (مسلم)

“Sesungguhnya tanda-tanda yang ada di antara seorang hamba dengan kesyirikan dan kekufuran adalah pebuatan meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِى بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ (النسائى)

“Sesungguhnya ikatan perjanjian yang ada antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Karena itu, barangsiapa meninggalkan shalat, berarti ia telah kufur.” (HR. Nasa-i)

Shalat merupakah ibadah mahdhah pertama yang diwajibkan Allah atas manusia. Seruan ini dikumandangkan Allah kepada seluruh Nabi dan RasulNya;

“Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku sebagai orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb, kabulkanlah doa-doa kami.” (QS. Ibrahim [14] : 40)

“Sesungguhnya ia adalah orang yang benar dalam memegang janji, dan ia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh keluarganya (umatnya) mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (QS. Maryam [19] : 54-55)

“Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran [3] : 43)

“Dia (Allah) memerintahkan aku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam [19] : 31)

Adapun ancaman Allah SWT kepada orang-orang yang meninggalkan shalat;

“Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. “ (QS. Maryam [19] : 59)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al Ma’un [107] : 4-5)

1.     Pengertian Shalat

Secara etimologi shalat berarti doa. Sebagaimana disinyalir Allah SWT; “Berdoalah untuk mereka, karena sesungguhnya doa kalian itu menjadi ketenteraman bagi jiwa mereka.” (QS. At Taubah [9] : 103)

Rasulullah saw bersabda;

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ وَ إِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ (مسلم)

“Apabila salah seorang di antara kalian diundang, hendaklah ia memenuhinya. Jika sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia makan (makanan yang disuguhkan) dan apabila berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan.” (HR. Muslim)

Adapun menurut syariat, shalat adalah amalan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam.

Shalat hukumnya wajib berdasarkan dalil al Qur’an, hadits, maupun Ijma’ ulama;

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98] : 5}

Ibn Umar ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَ حَجِّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً (متفق عليه)

“Islam itu dibangun atas lima perkara. Yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah utusanNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di  bulan Ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Para ulama berijma’ bahwa shalat lima waktu merupakan amalan wajib sehari semalam.

2.     Hikmah Shalat

Shalat lima waktu akan membentuk pelakunya menjadi pribadi yang adil, berperilaku bersih, tercegah dari segala perbuatan keji dan mungkar serta selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seperti yang disinyalir al Qur’an;

“Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu akan mencegah pelakunya dari perbuaran keji dan mungkar.” (QS. AL Ankabut [29] : 45)

3.     Hukum Bagi Wanita Muslimah yang Meninggalkan Shalat

Menurut Ijma’ Ulama, wanita muslimah yang meninggalkan shalat karena ingkar, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Sedang bila ia meninggalkan shalat karena lalai, malas, atau karena suatu kesibukan yang tidak dibenarkan syariat, banyak hadits yang mengkafirkannya dan mewajibkan membunuhnya.

Rasulullah saw bersabda dalam hadits melalui riwayat Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash;

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نٌوْرًا وَ بُرْهَانًا وَ نَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَأ لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا وَ لاَ نَجَاةً وَ لاَ بُرْهَانًا وَ كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَ فِرْعَوْنَ وَ هَامَانَ وَ أُبَيْ بنِ خَلَفٍ  (أحمد و الطبرانى و ابن حبان)

“Barangsiapa memeliharanya, maka shalatnya itu merupakan cahaya baginya, sebagai bukti dan keselamatan pada hari Kiamat. Dan barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka ia tidak akan mendapat cahaya, burhan serta keselamatan pada hari Kiamat kelak, dan ia akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, dan Hamman, serta Ubay ibn Khalaf.” (HR. Ahmad, Thabrani, Ibn Hibban dengan isnad Jayyid)

Juga hadits dari Ibn Umar ra;

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَن ْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّجًدًا رَسُوْ لُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَأةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَائَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الْإِسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ عَزَّ وً جَل (متفق عليه)

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhamad saw adalah utusanNya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka di tangan Allah.” (Muttafaq ‘alaihi)

Secara zhahir, hadits di atas menegaskan bahwa wanita muslimah yang meninggalkan shalat dihukumi sebagai orang kafir dan darahnya halal ditumpahkan. Namun mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama;

-        Imam Maliki dan Imam Syafii; “Wanita muslimah yang meninggalkan shalat tidak dihukumi kafir, tapi dikategorikan sebagai orang fasik dan masih bisa bertaubat. Namun bila tidak bertaubat, boleh dibunuh sebagai hukuman (had) untuknya.”

-        Imam Abu Hanifah; “Tidak perlu dibunuh, tapi harus dicambuk dan dipenjara sampai ia mau melaksanakan shalat.”

Mereka menghukumi kafir lantaran memahami hadits dan nash al Qur’an secara umum. Seperti firman Allah SWT, QS. An Nisa’ [4] : 116;

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa saja yang dikehendaki.”

Juga sabda Rasulullah saw;

لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ وَ إِنِّىْ إِخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لِأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِيَ نَأئِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْ مَاتَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا (أحمد و مسلم)

“Masing-masing Nabi memiliki doa mustajab, dan masing-masing Nabi menyegerakan doanya. Sedangkan aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku nanti pada hari Kiamat. In syaa Allah akan diterima oleh orang yang mati selama ia tidak mempersekutukan Allah dengan apapun.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Juga riwayat dari Abu Hurairah ra;

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ (البخارى)

“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengatakan; “Laa ilaaha illaLlah, tulus dari kedalaman hatinya.” (HR. Bukhari)

4.     Fardhu Shalat

Diriwayatkan dari Ubbadah ibn Shamit ra, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda;

خَمْسَ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْيَوْمِ وَ الَّيْلَةِ فَمَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ كَانَ لَهُ عَهْدٌ عِنْدَ اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ (البخارى و مسلم)

“Shalat lima waktu telah ditetapkan Allah bagi para hambaNya sehari semalam. Barangsiapa yang memeliharanya, maka di sisi Allah ia mendapat janji unutk dimasukkan surga. Dan barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka di sisi Allah ia tidak mendapat janji tersebut. Jika Allah berkehendak, mengazabnya, dan jika Ia berkehendak, mengampuninya.” (HR. Bukhari – Muslim)

5.     Kapan Shalat Diwajibkan

Shalat diwajibkan pada hari diperjalankannya Rasulullah saw dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Anas ibn Malik ra bercerita;

“Shalat itu awalnya diwajibkan kepada Nabi pada malam diperjalankannya beliau sebanyak 50 kali. Kemudian dikurangi hingga menjadi 5 waktu. Setelah itu beliau diseru; “Wahai Muhamad, sesungguhnya tidak ada firman yang dapat diganti di hadapanKu, dan dengan shalat 5 waktu ini kamu akan mendapat pahala sebanyak 50 kali lipat.” (HR. Ahmad, Nasai, dan Turmidzi yang menshahihkannya)

6.     Tidak Boleh Mengakhirkan Shalat

Pelaksanaan shalat itu tidak boleh diakhirkan waktunya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw dari Qatadah;

أَمَّا لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْظٌ إِنَّما التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْئَ وَ قْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ لَهَا (مسلم)

“Sesungguhnya tidak ada kelalaian dalam tidur. Kelalaian itu hanyalah bagi yang belum mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya. Barangsiapa terlanjur melakukan hal itu, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut hingga ia memberi perhatian khusus padanya.” (HR. Muslim)

7.     Kepada Siapa Shalat Diwajibkan

Shalat diwajibkan kepada setiap muslim dan muslimah yang berakal sehat dan sudah baligh. Sesuai dengan hadits dari Aisyah ra;

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ (أحمد و أصحاب السنن و الحاكم)

“Telah diangkat pena dari tiga golongan; Orang yang tidur hingga dia terbangun, anak-anak hingga dia bermimpi (baligh) dan orang hilang ingatan hingga sadar.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, Hakim)

Hadits ini Shahih dengan syarat Imam Bukhari, Imam Muslim dan diShahihkan oleh Imam Turmidzi. Untuk orang gila ketika sudah sadar, tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya.

Shalat Bagi Anak-anak

Ummahat muslimah memiliki kewajiban memerintahkan anak-anaknya shalat saat sudah berusia tujuh tahun, dan memukulnya (sebagai bentuk pendidikan) saat mereka tidak shalat sementara usianya sudah sepuluh tahun. Sesuai dengan riwayat Imam Ahmad dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda;

مَرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغُوْا سَبْعًا وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوْا عَشْرًا وَ فَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ (أحمد)

"Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah bila mereka tidak mau melaksanakannya saat berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur.” (HR. Ahmad)

8.     Syarat-syarat Shalat

Di antara syarat sahnya shalat sebagai berikut;

a.     Suci badan, tempat, dan pakaian

b.     Shalat pada waktunya

c.      Menutup aurat, untuk wanita muslimah dari ujung kepala sampai ujung kaki, kecuali muka dan telapak tangan

d.     Menghadap kiblat. Bila tidak tahu arah, bisa bertanya kepada yang lebih tahu. Bila tidak, boleh berijtihad sendiri sesuai keyakinan. Dalam kondisi ini, ke arah manapun menghadap, shalat tetap sah.

Orang yang meninggalkan wudhu’, mandi jinabat, menghadap kiblat, dan menutup aurat, hukumnya sama dengan meninggalkan shalat.

Begitu pula orang yang tidak berdiri, ruku’, dan sujud saat melaksanakan shalat, padahal dia mampu melakukannya. Dalam hal ini dia harus mengulang shalatnya.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad; Bila sebagian rambut dan anggota badannya terbuka saat shalat, dia tidak harus mengulang shalatnya.

Bahkan menurut Imam Abu Hanifah; Bila punggung kaki seorang muslimah terbuka saat shalat, shalatnya tetap sah.

Jumhur Ulama; Bila sebagian besar auratnya terbuka, ia harus mengulang shalatnya.

Mengenai masalah kiblat, Rasulullah saw bersabda;

“Di antara Timur dan Barat terdapat kiblat.” (HR Turmidzi, menurutnya hadits ini predikatnya Hasan Shahih)

Dengan demikian, shalat menghadap ke arah Barat, mencong sedikit ke Utara atau ke Selatan sudah masuk arah kiblat.

9.     Wanita yang Meninggalkan Shalat Harus Dibunuh

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad : Wanita yang meninggalkan shalat, harus bertaubat. Bila tidak, ia harus dibunuh

Abu Bakar at Tharthusy : Menurut Imam Malik; Wanita yang meninggalkan shalat harus diingatkan dengan keras, selama waktunya masih ada. Jika ia mengerjakan, ia akan diampuni. Jika menolak, sementara waktunya sudah berlalu, maka ia harus dibunuh.

Menurut Penulis Buku ini : Wanita itu tidak harus dibunuh, walau ia tetap menolak melaksanakannya. Sebagaimana Rasulullah saw pernah memerintahkan untuk shalat sunnah di belakang pemimpin yang selalu mengakhirkan shalat. Beliau tidak memerintahkan untuk membunuhnya.

Para ulama masih berbeda pendapat mengenai jumlah shalat yang ditinggalkan yang mengharuskan seseorang dibunuh;

Sufyan ats Tsauri, Imam Malik, dan Imam Ahmad, Imam Syafi’i berkata; “Meninggalkan satu kali shalat saja sudah cukup menjadi alasan untuk dibunuh.”

Pendapat mereka dilandaskan pada riwayat Mu’adz ibn Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda;

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ الْمَكَتُوْبَةَ مَتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ (أحمد)

“Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka dia telah terlepas dari perlindungan Allah SWT.” (HR. Ahmad)

Hadits dari Abu Darda’, ia berkata;

أَوْصَانِى أَبُو الْقَاسِمْ أَنْ لاَ أَتْرُكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ (أبو عبد الحمن ابن أبى الحاتم)

“Abul Qasim (Rasulullah saw) telah berwasiat kepadaku untuk tidak meninggalkan shalat secara sengaja. Barangsiapa meninggalkannya secara sengaja, maka ia telah terlepas dari perlindungan Allah SWT.” (HR. Abdurrahman ibn Abi Hatim)

Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda;

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حًتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَاةَ ثُمَّ قَدْ حُرِّمَتْ عَلَيَّ دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ (أحمد و حزيمة)

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat. Diharamkan dariku darah dan harta mereka, dan perhitungan mereka ada di sisi Allah SWT.” (HR. Ahmad dan Huzaimah)

Begitu pula dengan hadits dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda;

لاَ يُحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِى وَ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ التَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (متفق عليه)

“Tidak halal darah seorang musllim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali satu di antara tiga; 1. Wanita yang berzina, 2. Membunuh jiwa yang harus dibayar dengan jiwa, 3. Orang yang meninggalkan agamanya atau memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Juga hadits dari Anas ibn Malik ra, ia berkata;

لَمَّا تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم إِرْتَدَّتِ الْعَرَبُ، قَالَ عُمَرُ يَا أَبَا بَكْرٍ كَيْفُ تُقَاتِلُ الْعَرَبُ؟ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ إِنَّمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنِّى رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَاةَ (النسائى)

“Ketika Rasulullah saw meninggal, bangsa Arab banyak yang murtad. Umar bertanya kepada Abu Bakar; “Wahi Abu Bakar, bagaimana engkau hendak memerangi bangsa Arab?.” Abu Bakar menjawab; “Rasulullah saw pernah bersabda; “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusanNya, mendirikan shalat, dan membayar zakat.” (HR. Nasa-i)

Abu Ishaq mengatakan; “Wanita yang meninggalkan shalat dibunuh karena kekufurannya. Ia seperti wanita murtad yang ketika meninggal dunia tidak perlu dimandikan, dishalatkan, dan dikubur di tengah-tengah kaum  muslimin.”

Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw; “Terputusnya hubungan seorang hamba dengan Rabbnya adaah perbuatan meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw bersabda dalam riwayat Hakim;

أَوَّلُ مَا تَفْقِدُوْنَ مِنْ دِيْنِكُمْ الْخُشُوْعَ وَ آخِرُ مَا تَفْقِدُوْنَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ (الحاكم)

“Hal pertama yang hilang dari agamamu adalah kekhusyu’an dan yang terakhir hilang darimu adalah orang yang meninggalkan shalat.” (HR. Hakim)

Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafii tidak menghukumi orang yang meninggalkan shalat (laki-laki atau wanita) sebagai kafir, meskipun dia harus dibunuh lantaran sengaja meninggalkan shalat. Pendapat mereka didasarkan pada sabda Nabi saw;

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ (متفق عليه)

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan; “Laa ilaaha illaLlah,” dengan mengharap ridha Allah SWT.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Juga hadits dari Ubbadah ibn Shamit; “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda;

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ أَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَ كَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَ رُوْحٌ مِنْهُ وَ أَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ (متفق عليه)

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah hambaNya dan utusanNya, dan bahwa Isa adalah hamba Allah dan kalimatNya yang disampaikannya kepada Maryam dan tiupan ruh dariNya, dan bahwa surga adalah haq dan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkannya ke surga berapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah saw bersabda;

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ فِى قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةً

“Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan; “Laa Ilaaha illaLlah, sedang dalam hatinya  terdapat kebaikan sebesar biji gandum.” (Muttafaq ‘alaihi)

Hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, hanya sebatas diserupakan dengan orang-orang kafir, bukan kafir sesungguhnya. Rasulullah saw bersada; “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)

مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا (مالك و أحمد)

“Baransiapa mengatakan kepada saudaranya; “Hai Kafir!,” maka sebutan itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya.” (HR. Malik dan Ahmad)