Kalau kita floorkan satu pertanyaan besar;
“Sudahkah kita termasuk golongan orang-orang yang berakal?”
Semua pasti menjawab; “Tentu, kami adalah orang-orang yang
berakal.” Karena yang terpikir dalam benak adalah menggunakan akal pikiran untuk
membedakan hal baik dan buruk, memilah di antara yang baik mana yang paling
baik, dan dirinya bekerja dengan menggunakan akal.
Namun tahukah kita, bahwa dalam konsep syariat orang disebut
berakal setidaknyaharus memenuhi 4
kriteria;
1. 1. Meninggalkan dunianya,
sebelum dunia meninggalkannya
2. 2. Membangun kuburnya, sebelum
ia memasukinya
3. 3. Mencari ridho Tuhannya,
sebelum ia menemuinya
4. 4. Melaksanakan shalat,
sebelum ia dishalatkan
Kriteria yang mungkin sangat sederhana dan simpel, namun
tidak sesederhana pelaksanaannya. Mari kita coba menelisiknya satu persatu.
1. 1. Orang yang Meninggalkan
Dunianya Sebelum Dunia Meninggalkannya
Orang dalam golongan ini adalah orang-orang
yang menganggap dunia adalah fana. Ia akan memposisikan harta, jabatan, dan
semua kenikmatan yang dikecapnya sebagai fasilitas untuk beramal lebih baik
dari hari ke hari. Dia tidak memposisikannya sebagai milik, karena yang
dimilikinya adalah yang telah dikecap dan dinikmati, entah untuk dirinya atau
orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya.
Saya punya teman sudah berumur bekerja
sebagai Kepala Keuangan di salah satu BUMN. Menjelang kenaikan jabatan,
tiba-tiba dia dimakzulkan dari jabatannya, digantikan orang lain. Akhirnya
sampai pensiun dirinya tanpa jabatan, namun masih menerima gaji seperti saat
masih menjawab (hanya tidak lagi punya ruang kerja dan kuasa di keuangan).
Pemecatan itu sontak membuat teman-temannya
bingung dan menyayangkan. Usut punya usut, biang masalahnya adalah karena tidak
mau melayanani keinginan direkturnya, mengucurkan dana untuk operasional
istrinya.
“Andai bapak ikuti, naik jabatan jadi
manager keuangan pasti. Lumayan khan, pensiun dengan gaji manager?! Urusan
dosa, khan dia yang kena?,” ujar teman-temannya.
“Tidak apa-apa tidak naik jabatan, yang
pasti penyimpangan telah dihalangi. Semua fana dan saya tidak pernah merasa
kecewa dan terbebani dengan kondisi ini.
Apa nikmatnya naik jabatan dan makan gaji besar bila dihasilkan dari kolaborasi
penyimpangan. Saya sudah sangat bahagia dengan kondisi seperti sekarang ini,” jawabnya
lembut.
Dia sebenarnya punya kesempatan untuk
mengambil apa yang menjadi impian kariernya sejak muda. Namun ketika kesempatan
itu ada dan dia bisa merengkuhnya, dia melepaskannya dengan rela. Dia sampai
pada satu titik, di mana dunia sudah tak lagi berharga dalam pandangannya. Yang
berharga adalah kehidupan setelahnya.
Mungkin kasus seperti di atas tidak sedikit
terjadi di negeri +62 ini, tentu dengan berbagai ragam kasus dan bentuknya,
dari kalangan paling atas sampai kalangan paling bawah.
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
adalah naluri paling mendasar manusia. Namun menumpuk kebutuhan demi
kepentingan pribadi adalah pengkhianatan atas kemanusiaan. Karena asas dari kebutuhan
adalah pemerataan, dan asas dari keinginan adalah penguasaan.
Sekarang saya jadi lebih mengerti sabda
Rasulullah saw;
مَنْ
كَانَتِ الدُّنْيَا هَمُّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتِ
الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ
وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Siapa yang menjadikan dunia keinginan terbesar
dihatinya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, dan Allah akan menjadikan
kefakiran di antara kedua matanya. Dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali
yang telah dituliskan untuknya. Dan siapa yang menjadikan akhirat sebagai niat utamanya (keinginan terbesar di
hatinya), Allah akan kumpulkan urusannya untuknya, dan Allah akan jadikan
kekayaan di hatinya dan dunia akan mendatanginya saat dia memandangnya
hina.” (HR. Ibnu Majah)
Sampai titik ini, masihkan kita ‘pede’
untuk mengatakan bahkan kita termasuk dalam golongan orang-orang berakal?
Semoga.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar