Author: Rusydi Helmi(rusydihelmi@gmail.com or rh@cileungsi.com)
Ketika salah seorang sahabat datang kepada
Rasulullah saw dan bertanya; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
berhak aku hormati?.” Beliau menjawab; “Ibumu.” Sahabat tadi kembali bertanya;
“Kemudian siapa?.” Beliau menjawab; “Ibumu.” Sahabat itu kembali bertanya;
“Kemudian siapa?.”Beliau menjawab; “Ibumu.” Penasaran, sahabat tadi mengulang pertanyaannya;
“Kemudian siapa?.” Rasulullah saw menjawab; “Ayahmu.” (Bukhari - Muslim)
Saya sudah sangat hafal hadits ini sejak duduk
di kelas 1 Pondok Pesantren Al Amien Madura. Bahkan setelah beranjak dewasa
sampai saat ini, saya sering menyampaikannya sebagai bahan ceramah dan renungan
kepada masyarakat, agar kita selalu menghormati sosok yang bernama IBU,
melebihi orang lain.
Kesadaran itu muncul menyeruak dari sanubari
justeru saat saya kehilangan sosoknya yang sedemikian teduh. Ya… sangat teduh… Keteduhan itu seakan
memberi tanda, bahwa betapapun besarnya dosa seorang anak terhadapnya, kedua
tangannya akan selalu terkembang untuk merengkuh dan merangkulnya guna memberi
rasa aman. Lalu nasihatnya akan meluncur teratur dari lisannya. Dan doa-doanya
mengalir lewat belaian tangannya yang tak kenal kata pamrih. Ya…tanpa pamrih…
Lalu, mengapa sosok Sebaik-baik Manusia itu
menyebutnya sampai 3 kali dalam sabdanya…??
Banyak sekali alasan yang melatari sabdanya…
1. Darinya kita belajar
bicara, memegang, makan dan segala hal…
Ibu adalah sosok yang
paling dekat dengan kita saat masih bayi Dia orang pertama yang mengajak kita
bicara, walau kita tidak bisa menjawabnya. Ia mengajari kita memegang sesuatu,
melatih mata kita untuk melihat benda-benda berwarna di sekitar kita. Ia juga
mengajari kita tertawa dan tersenyum. Dia juga yang mengajari kita mandi,
berpakaian, dan makan. Dan dia tidak segan untuk memberi kita pujian saat kita
melakukan sesuatu yang menyenangkan. Bahkan ia tidak pernah malu untuk meminta
maaf atas kesalahan yang tak sengaja dilakukannya. Padahal saat itu kita tidak
mengerti apa-apa…
2. Darinya kita belajar
kearifan…
Ingat, saat kita
pulang sekolah dengan segudang keluhan? Kata pertama yang keluar dari lisan
kita saat pertama menjejakkan kaki di rumah adalah “IBU” Lalu sambil duduk di
pangkuannya berbagai ocehan keluar dari lisan kita, dari hal paling lucu sampai
yang mengesalkan. Padahal boleh jadi beliau lagi banyak pekerjaan yang belum
sempat diselesaikan. Boleh jadi beliau sedang dirundung persoalan yang
membuatnya sedih, namun kita tidak mengerti. Tapi, beliau selalu siap
mendengarkan dengan mengesampingkan segala yang menjadi kepentingan dirinya.
Sikap ibu selalu
mengesampingkan kepentingan dirinya dan mengedepankan kepentingan kita. Ini
adalah bentuk pengajarannya kepada kita tentang kearifan. Bahwa kemuliaan kita
sangat ditentukan oleh seberapa besar kita memuliakan orang lain.
3. Darinya kita belajar pengorbanan…
Ketika penyakit
menjangkiti badan kita, tak urung ia juga merasakan sakit. Saat kita tidak bisa
tidur sepanjang malam, lantaran sakit yang kita derita, tak sedikitpun matanya
terpejam. Dijaga dan dirawatnya kita dengan sepenuh hati. Ia akan selalu berdoa
kepada Allah untuk kesembuhan kita.
Bahkan andai Allah
berkenan, ia akan memohon kepada-Nya untuk memindahkan penyakit anaknya pada
dirinya.
Coba kita lihat…
ketika ada seorang ibu melakukan suatu perbuatan yang membuat malu anggota
keluarganya, siapa yang akan membelanya? Bahkan ketika ada yang bertanya;
“Siapa keluarga ibu ini?.”
Hampir tidak ada yang
mengakuinya. Bahkan seorang anak pun, tidak akan mengakui bahwa dia adalah ibunya.
Tapi sebalilknya… jika
ada seorang anak melakukan perbuatan
yang membuat malu anggota keluarganya, kemudian ada yang bertanya; “Anak
siapakah ini?.”
Sang ibu dengan
lantang penuh ketulusan akan berkata; “Dia anakku…”
Pantas Rasulullah saw
bersabda ketika ditanya oleh Aisyah tentang seorang wanita yang membelah dua
sebiji kurma yang diterimanya, kemudian diberikan kepada dua puterinya yang
kelaparan; “Tahukah kamu wahai Aisyah… bahwa sebelah biji kurma yang diberikan
kepada dua puterinya itulah yang akan melindunginya dari jilatan api neraka.”
4. Darinya kita belajar
mengingat Allah…
Tak henti-hentinya
dia mengajari kita mengucapkan huruf-huruf Hijaiyah hingga kita tertidur
lelap. Doa-doa pun tak henti dia
ajarkan, hingga lisan kita fasih mengucapkannya.
Setiap kali ia
melihat sesuatu yang indah, ditanamkannya pada kita, bahwa dibalik segala
sesuatu yang indah pasti ada sang Pencipta yang lebih indah.
Cukup beralasan jika Allah
menganugerahkan mahkota surga di atas kepalanya, setiap kali anak yang
diajarinya membaca al Qur’an. Cahaya mahkota itu lebih terang dari sinar
matahari dunia.
5. Darinya kita belajar
memaafkan…
Saat kita adukan
padanya teman yang melakukan hal buruk, ia selalu mengajari kita untuk
memaafkannya. Ia selalu mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang tidak melakukan
kesalahan. Kalau suatu saat kita ingin dimaafkan orang, berikanlah maaf kepada
orang lain.
Memberi maaf pada
orang lain adalah upaya untuk memberi maaf pada diri kita di masa depan. Karena
sikap kita pada orang lain akan menjamin sikap orang lain pada kita.
6. Darinya kita belajar
keikhlasan…
Dia selalu mengajari
kita untuk memberi tanpa mengharap balasan. Karena dia selalu yakin, bahwa
suatu perbuatan baik bisa kita lakukan, bukan karena kita mampu melakukannya.
Tapi lantaran Allah ridho terhadap apa yang kita lakukan.
Jika semua yang kita
lakukan berasal dari Allah, tidak patut bagi kita untuk mengharapkan sesuatu
yang lebih dari yang telah Dia tetapkan atas kita.
Hal ini sangat terasa
saat kita berkunjung ke kediamannya (baca:mudik) Di tengah ketidakmampuannya,
ia selalu menyediakan makanan yang menjadi kesukaan kita. Tidak jarang ia
membekali kita dengan oleh-oleh yang tidak sedikit. Bahkan ia tidak akan
memakan kue yang disukai anaknya, jika ia tahu bahwa anaknya akan datang.
Kini semua itu
tinggal kenangan… Tatapan teduh itu sudah tidak ada lagi… Sosok yang kerap
menunggu kita di depan pintu rumah itu sudah tak lagi terlihat… Dua tangan yang
selalu terkembang setiap kali kita datang itu juga sudah tiada… Hilang bersama
waktu yang tak mungkin kembali…
Namun… nun jauh di
sana, di tempat yang tidak pernah bisa kita lihat secara kasat mata, ia sedang
menunggu untaian doa-doa dan lantunan bacaan Qur’an kita. Setidaknya buat
meringankan beban dosa yang mungkin pernah dilakukannya di masa lalu…
Nanti… jika ada yang
bertanya padaku tentang PAHLAWAN, pasti namamu… IBU… yang pertama aku sebutkan….
Tulisan ini saya
dedikasikan untuk setiap wanita yang dipanggil… I B U… sebutan kebanggaan yang
disematkan Allah SWT atasnya…
Cileungsi,
20 Mei 2013
Masya Allaah...ðŸ˜
BalasHapus