Rabu, 12 Juni 2013

Anjuran Menikah dan Peringatan Tentang Pelacuran

ROWAA-I’UL BAYAAN TAFSIR AAYAATIL AHKAAM MINAL QUR’AN JILID 2 AS SYEIK MUHAMAD ALI AS SHOBUNY DISARIKAN OLEH: RUSYDI HELMI www.rusydihelmi.blogspot.com -  twitter:@rusydihelmi
 
DISAMPAIKAN DALAM:
KAJIAN ISLAM MUSLIMAT MASJID DAARUS SALAM
KOTA WISATA CIBUBUR
&
KAJIAN ISLAM BA’DA SHUBUH MASJID AL ITTIHAD
 LEGENDA WISATA CIBUBUR

SURAT AN NUR : 32 - 34
 





  2. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

34. Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

 MAKNA GLOBAL :
  • Makna ayat di atas, Allah SWT berfirman; “Wahai orang-orang beriman, kalian nikahkanlah orang yang belum memiliki pasangan dengan lelaki dan wanita terhormat di antara kalian atau dengan para hamba sahaya yang baik dan anak yang berada dalam asuhan kalian. Jika di antara mereka ada yang miskin, Allah akan memberikan kekakayaan dan kemuliaan kepada mereka. Janganlah kemiskinan menghalangi kalian untuk menikahkan mereka.”
  • Kemudian Allah memerintahkan para remaja yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah –karena ketiadaan materi maupun halangan sosial– untuk memelihara dirinya dari perbuatan keji (zina) dan dari segala hal yang diharamkan-Nya. Ia akan selalu memberi kemudahan dan jalan keluar kepada orang yang bertakwa, at Tholaq : 4;( وَمَنْ يّتَّقِى اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا )
  • Allah memerintahkan untuk menerima dan menulis perjanjian apabila seorang hamba sahaya ingin membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan dengan menebus dirinya dengan sejumlah uang.
  • Allah juga melarang pihak majikan untuk menjadikan mereka sebagai pelacur demi meraup keuntungan harta duniawi. Untuk itu Allah mengancam setiap pelakunya dengan azab yang pedih dan memberikan ampunan bagi hamba yang dipaksa melacurkan diri.
  • Allah menurunkan ayat yang jelas dan terperinci lengkap dengan berbagai perumpamaan umat-umat di masa lalu, sebagai landasan untuk berjalan di atasnya, Hud:117.( وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ )

SABABUN NUZUL : SABABUN NUZUL :
1.   Diriwayatkan dari as Suyuthi dari Abdullah ibn Shubaih dari ayahnya, ia berkata; “Saya menjadi hamba sahaya Huwaithib ibn Abdi ‘Izzy. Saya memintanya untuk membuat surat pembebasan atas diriku, namun ia menolak untuk memberikannya. Lalu turunlah ayat ini;
                                 (  وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ )
    Al Qurthubi berkata; “Setelah Huwaithib mendengar turunnya ayat di atas, ia segera menulis surat pembebasan atas hamba sahayanya tersebut senilai 100 Dinar, dan memberikan sebagian kepadanya, sebesar 20 Dinar. Huwaithib meninggal terbunuh pada perang Hunain.
2.   Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Jabir ibn Abdillah; “Bahwa hamba sahaya wanita Abdullah ibn Ubay, yang dikenal dengan nama, Musaikah dan yang lainnya bernama, Umaimah, keduanya dipaksa untuk melakukan zina. Dua hamba sahaya tersebut mengadu kepada Rasulullah saw, lalu Allah menurunkan ayat;

                                   ( وَلاَ تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ )
        Diriwayatkan bahwa Abdullah ibn Ubai ibn Salul memaksa keduanya untuk melakukan zina sambil memukulnya. Salah seorang di antara keduanya berkata; 

        “Jika beruntung, perbuatan ini memang akan mendatangkan banyak uang untuk kami. Namun jika sial, akan butuh waktu sangat panjang bagi kami untuk keluar dari kenistaan ini.” Lalu turunlah ayat di atas.

    3.   Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Mujahid, bahwa ia berkata; “Mereka (orang-orang Jahiliyah) memerintahkan anak-anak perempuan mereka untuk melacur, kemudian hasil jerih payahnya diserahkan kepada mereka. Abdullah ibn Ubay ibn Salul juga memaksa hamba sahaya wanitanya untuk melacur, tapi keduanya menolak. Bahkan bersumpah untuk tidak melakukannya. Namun keluarganya juga ikut memaksa, hingga ia berangkat melacur dalam cuaca yang sangat dingin. Kemudian kembali membawa hasil kepada majikannya. Lalu turunlah ayat;

    ( وَلاَ تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ  )
        Al Muqotil berkata; “Ayat ini turun berkenaan dengan enam hamba sahaya wanita (jaariyah) milik Abdullah ibn Ubay ibn Salul (Ma’aadzah, Musaikah, Umaimah, Qutailah, ‘Amroh, dan Arwy). Ia memerintahkan mereka untuk melacur untuk mendapatkan sejumlah uang. Semua riwayat yang ada menyebutkan, bahwa yang melakukan pemaksaan terhadap mereka adalah Pemuka Tokoh Munafiq, Abdullah ibn Ubay ibn Salul.

    URAIAN TAFSIR (LATHO-IF TAFSIR) :
    1.    Firman Allah; ﴿ وَ الصَّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْۚ ﴾ mengandung isyarat bahwa yang membuat manusia bernilai adalah kebaikan dan ketakwaannya. Harta dan kedudukan tidak akan membuat manusia menjadi mulia. Kemuliaan mereka terletak pada agama dan kebaikan yang dilakukannya. Sesuai dengan firman Allah;( وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ )                                                             
    Az Zamakhsyari berkata; “Jika Anda bertanya; “Mengapa dikhususkan untuk orang-orang shalih?.” Saya jawab; “Keshalihan itu akan memelihara agama dan kepribadian mereka. Orang shalih dalam ayat di atas adalah hamba sahaya yang dikasihi oleh majikan mereka lantaran keluhuran budi mereka. Karena itu kedudukan mereka bisa setara dengan anak kandung bagi majikannya.”
    2.  Firman Allah; ( إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِۗ ) mengandung janji-Nya untuk mencukupi setiap orang yang menempuh jalan pernikahan demi memelihara kebersihan dirinya. Para sahabat sangat memahami ayat ini, hingga Abu Bakar as Shiddiq berkata; “Ta’atlah kepada Allah dengan melaksanakan perintah nikah-Nya, Dia akan memenuhi janji-Nya untuk memberikan kecukupan kepada kalian.” Umar ibn Khotthob dan Ibn Abbas berkata; “Carilah rizki dengan menikah.”                                                                                                                                    
    Jika ada yang berkata; “Kami banyak melihat orang fakir yang menikah, namun mereka tetap dalam kefakirannya. Bahkan kami melihat ada orang kaya, ketika menikah menjadi fakir.”
    Kita jawab; “Firman Allah di atas sangat terkait dengan kehendak-Nya. Perhatikan firman Allah, at Taubah 28;(فَسَوْفً يُغْنِيْكُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ) Rahasianya terletak pada akhir ayat; (وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ) bukan lafazh; {وَاسِعٌ كَرِيْمٌ} Hikmahnya, bahwa Allah Mengetahui apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, hingga Ia melapangkannya. Begitu pula sebaliknya.
        Diriwayatkan dalam sebuah hadits Qudsi;
        إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُهُ إِلاَّ الْفَقْرَ وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَفَسَدَ حَالُهُ...
             “Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku, ada yang tidak ada sesuatu pun yang maslahat baginya kecuali kefakiran. Seandainya Aku mengkayakannya, pasti kondisinya akan rusak…”
        Adapun yang melekat dalam opini masyarakat kebanyakan, bahwa banyak anak menyebabkan kefakiran, tanpa anak dapat banyak harta. Allah berfirman, at Tholaq 2-3;
         (وَمَنْ يَتَّقِى اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ)
    3.   Firman Allah; ( وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا ) Allah mengajak para pemuda yang belum memiliki kemampuan menikah untuk menjaga kesucian dirinya.
    4.   Firman Allah; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ) mengandung isyarat halus, bahwa harta yang di ada tangan orang-orang kaya adalah harta Allah yang dititipkan kepada mereka agar dipergunakan untuk kebaikan. Al Hadid:7; (أَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ)
     Dengan demikian, orang kaya bukanlah orang yang memiliki harta secara hakiki, tapi orang yang diberi amanah untuk menggunakannya sesuai tuntunan syariat.
    5.  Firman Allah; ( إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا ) Kalimat ini mengandung celaan terhadap majikan yang seharusnya meluruskan kalau hamba sahayanya melakukan hal yang buruk, bukan malah menjerumuskan.
    6.  Firman Allah; ( لِتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيَٰوةِ الدُّنْيَاۚ ) mengandung isyarat, betapa bejatnya perilaku para majikan dimaksud.
    7.  Firman Allah: ( فَإِنَّ اللهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ ) merupakan ampunan yang dijanjikan Allah untuk hamba sahaya yang dipaksa melakukan pelacuran. Imam Hasan al Bashri setiap kali membaca ayat ini berkata; “Demi Allah, ampunan itu untuk mereka… ampunan itu untuk mereka.” Mengenai pengampunan untuk mereka, Imam Abu Sa’ud mensyaratkan adanya taubat dari yang bersangkutan.


    HUKUM-HUKUM SYARI’AT:

    1.  Siapakah yang menjadi khitob (lawan bicara) ayat ini?
        Sebagian ulama mengatakan, bahwa khithobnya adalah seluruh umat, agar menikahkan kaum lelaki dan perempuan merdeka yang belum memiliki pasangan. Sebagian yang lain mengatakan; khithobnya adalah para wali dan majikan yang memiliki kuasa atas anak dan hamba sahaya. Yang lain mengatakan; Khitobnya adalah para bapak yang mempunyai hak menyuruh menikah.
           Menurut al Qurtuby; “Di antara pendapat di atas, pendapat yang benar adalah yang pertama. Bahwa umat memiliki tanggung jawab untuk memudahkan segala hal yang berkenaan dengan pernak pernik pernikahan. Dengan menghilangkan berbagai persyaratan yang sulit dilaksanakan. Karena pernikahan adalah jalan menuju kebersihan dan kehormatan diri.”
        Rasulullah saw bersabda;
        إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
        “Jika datang kepadamu seseorang yang engkau sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak engkau lakukan, akan terjadi fitnah dan kerusakan fatal di muka bumi.”
    2.  Menikah hukumnya wajib atau sunnah?
        Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan;


    a) Madzhab Zhahiriyah; Menikah hukumnya wajib, yang tidak melakukannya berdosa.
        Dalil Zhahiriyah; Karena sighat (bentuk) kalimat di atas menggunakan kata perintah ( وَأَنْكِحُوْا ), dan setiap perintah adalah wajib. Pernikahan adalah jalan menuju kebersihan diri dari segala yang haram. Ketika sesuatu yang wajib tidak bisa disempurnakan kecuali dengan sesuatu yang sunnah, maka yang sunnah adalah wajib. Dengan demikian, yang meninggalkannya berdosa.
    b) Madzhab Jumhur (Maliki, Hanbali, dan Hanafi); Menikah hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan, bukan wajib.
        Dalil Jumhur; Jumhur menyandarkan dalilnya pada para Ulama Salaf dan Fuqaha Mesir;
    • Jika menikah dianggap wajib, pasti penukilan dalil dari Nabi saw maupun para Ulama Salaf akan tersebar luas dan tidak ada seorang pun pada masa beliau yang tidak menikah. Namun pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya banyak sahabat (laki-laki dan wanita) yang tidak menikah namun Nabi membiarkannya.
    • Jika pernikahan hukumnya wajib, niscaya para wali akan memaksa anak-anaknya yang janda untuk menikah kembali. Rasulullah saw bersabda; “Tidaklah seorang janda dinikahkan, hingga ia merasa ridho.”
    • Al Jasshos berkata; Yang menunjukkan bahwa menikah hukumnya sunnah, adalah seorang majikan tidak boleh memaksa untuk menikahi hamba sahayanya. Kondisi hamba sahaya bisa dinisbatkan pada lafazh (الأَيَامَى)
    • Al Jasshos berkata; Yang menunjukkan bahwa menikah hukumnya sunnah, adalah seorang majikan tidak boleh memaksa untuk menikahi hamba sahayanya. Kondisi hamba sahaya bisa dinisbatkan pada lafazh (الأَيَامَى)
    • Sabda Rasulullah saw;
         مَنْ أَحَبَّ فِطْرَتِي فَلْيَسْتَنُّ بِسُنَّتِى وَإِنَّ مِنْ سُنَّتِى النِّكَاحُ
        “Barangsiapa yang menginginkan fitrahku, hendaklah mengikuti sunnahku. Di antara sunnahku adalah menikah.”
    • Sabda Rasulullah saw;
        تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّى مَكَاثِرٌ بِكَمُ الأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
        “Kalian nikahilah wanita yang subur dan banyak anak, sesungguhnya kalian akan memperbanyak umatku pada hari kiamat dibanding nabi-nabi lainnya.”
    c) Madzhab Syafi’iyah; Menikah hukumnya mubah (halal), tidak berdosa meninggalkannya.
        Adapun dalil yang dikemukakan Syafi’i; Pernikahan adalah media untuk mendapat kenikmatan dan melampiaskan syahwat. Karenanya, ia hukumnya mubah (halal) sebagaimana makan dan minum.

            Pendapat paling kuat di antara pendapat-pendapat di atas adalah pendapat Jumhur Ulama, sesuai dengan sabda Rasulullah saw;
        مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
        “Barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku, ia bukanlah golonganku.” (HR Bukhari Muslim)
          Imam Al Qurthubi berkata; “Perbedaan pendapat para ulama tentang suatu hukum seiring dengan perbedaan kondisi masyarakat itu sendiri. Dari segi kekhawatiran terjerumus dalam zina maupun ketidakmampuan mereka untuk bersabar. Jika khawatir agama maupun kehidupannya akan rusak karena terjerumus zina, maka ia menikah hampir wajib. Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah, pernikahan itu sunnah baginya. Jika tidak memiliki kemampuan, ia harus memelihara kebersihan dirinya dengan berpuasa.”
    3.  Bolehkah seorang wali memaksa anak gadisnya yang sudah baligh untuk menikah?
        Madzhab Syafi’iyah membolehkan untuk memaksa anak gadis yang sudah baligh untuk menikah, tanpa harus menunggu keridhaannya. Mereka berdalil pada ayat di atas yang bersifat umum. ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى مِنْكُمْ ) Lebih lanjut mereka berkata; Kalau tidak karena adanya dalil bahwa seorang janda tidak boleh dinikahkan tanpa ridhonya, tentu mereka juga harus dipaksa menikah sekalipun tanpa ridhonya.
        Al Jasshos berkata; Ayat, ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى مِنْكُمْ ) hukumnya mencakup laki-laki dan perempuan. Jika seorang anak lelaki dinikahkan dengan izinnya, maka anak perempuan juga harus diminta izinnya. Bentuk izinnya seperti disinyalir Rasulullah saw; “Diamnya adalah izinnya.”
        Demikian juga dengan hadits dari Ibn Abbas tentang seorang gadis yang dinikahkan ayahnya tanpa meminta izin padanya. Lalu wanita itu mengadukan halnya kepada Rasulullah saw dan beliau bersabda; “Relakanlah apa yang telah dilakukan oleh ayahmu.” Hadits ini menunjukkan, bahwa meminta izin terlebih dahulu adalah suatu keharusan.
    4.  Bolehkah seorang wanita berwali pada dirinya sendiri pada saat akad nikah?
        Para Fuqaha Syafiiyah dan Hanabalah berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan wali, sesuai dengan zhahir ayat; ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى ) dan al Baqarah 221; ( وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْاۚ )  Karena yang menjadi khithob dua ayat di atas adalah kaum lelaki, bukan  wanita. Tujuannya, agar maksud dari akad pernikahan itu lebih sempurna.
        Menurut pendapat saya; “Pendapat di atas adalah pendapat yang paling benar dan kebanyakan ahli ilmu condong kepadanya.

        Namun yang perlu ditegaskan adalah bahwa khithob dari ayat di atas bersifat umum untuk seluruh manusia, tidak hanya terbatas kepada wali. Artinya Allah SWT mensunnahkan kaum muslimin untuk mengulurkan bantuan melapangkan pelaksanaan pernikahan.  Rasulullah saw bersabda;
        لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
        “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.”(HR Ahmad, Abu Daud, Turmudzi)
        أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
        “Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya bathil.” (HR Turmudzi, Ibn Majah dari Aisyah).”
        Al Always sependapat dengan pendapat di atas.

    5.  Bolehkah lelaki merdeka menikah dengan wanita dari kalangan hamba sahaya?
        Madzhab Hanafiah membolehkannya secara mutlak, sesuai dengan ayat di atas; ( وَأَنْكِحُوْا الأَيٰمَٰى مِنْكُمْ ) karena cakupan hukumnya bersifat umum. Namun Madzhab Syafiiyah tidak membolehkannya, karena cakupan ayat di atas bersifat khusus. Yakni baru dibolehkan apabila tidak memiliki kemampuan menikahi wanita merdeka.
    6.  Bolehkah seorang majikan memaksa hamba sahayanya (lelaki/wanita) untuk menikah?

     Ayat; ( وَ الصَّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْۚ ) menunjukkan bahwa seorang majikan boleh menikahkan hamba sahayanya tanpa harus meminta ridhonya. Seorang budak juga tidak boleh menikah tanpa seizin manjikannya. Karena majikan masih memiliki hak atasnya. Rasulullah saw bersabda;
        أَيَُمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِِ إِذْنِ مَوَالِيْهِ فَهُوَ عَاهِرٌ
        “Tidaklah seorang hamba menikah tanpa seizin majikannya, maka ia sama dengan berzina (melacur).”
        Al Qurthubi; “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa seorang majikan boleh memaksa hamba sahayanya untuk menikah. Ini adalah pendapat Maliki, Abu Hanifah, dan ulama-ulama lainnya. Sedangkan Madzhab Syafii menegaskan,  tidak boleh memaksa hamba sahaya untuk menikah kecuali dengan izinnya. An Nakho’i mengatakan; Mereka memaksa para hamba sahayanya untuk menikah dan menutup pintu untuk mereka.
        Madzhab Syafii beralasan; Bahwa hamba sahaya memiliki hak sempurna atas dirinya sebagaimana manusia lainnya. Adapun kepemilikan atas dirinya hanya sebatas pemanfaatan tenaganya.”

    7.  Apakah pasangan suami isteri boleh dipisahkan lantaran terdapat kesulitan (ekonomi)?
         Ayat; ( إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِۗ ) dijadikan landasan oleh para ulama bahwa tidak boleh membubarkan pernikahan hanya lantaran ketidakmampuan memberi nafkah.
        Imam an Naqqasy; “Ayat ini menjadi landasan kuat bagi para Qadhi untuk tidak membubarkan ikatan pernikahan lantaran sang suami tidak mampu memberi nafkah.”
        Al Qurthubi; “Ayat di atas tidak menjadi hukum atas orang yang tidak mampu memberi nafkah, namun ia adalah janji Allah untuk mengkayakan orang yang menikah dalam keadaan faqir. Adapun bagi orang yang menikah dalam keadaan mampu kemudian tidak mampu untuk memberi nafkah, maka keduanya boleh dipisahkan. Sesuai firman Allah, an Nisa 130; (وَإِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ)
        Pernah suatu ketika datang seorang wanita menghibahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi. Wanita itu datang kepada seorang lelaki yang tidak memiliki sesuatu kecuali satu sarung. Pernikahan Nabi ini tidak serta merta rusak lantaran ketidakmampuan beliau dalam memberi nafkah, karena dia yang datang kepada beliau.
        Namun jika seseorang menikah dalam keadaan lapang (kaya) kemudian dalam perjalanan waktu tidak mampu memberikan nafkah, diperkenankan untuk berpisah, karena tidak ada kesabaran dalam kondisi lapar.”
        Menurut pendapat saya; “Tujuan dari ayat di atas adalah disunnahkan bagi seorang wali untuk tidak menolak lamaran seorang pemuda sholeh, cakap, dan berakhlak sekalipun faqir. Karena Allah menjanjikan kemampuan untuknya. Rasulullah saw bersabda;
        ثَلاَثَةٌ حَقَّ عَلَي اللهِ عَوْنُهُمْ: النَّاكِحُ يُرِيْدُ الْعَفَاف، وَالْمُكَاتِبُ يُرِيْدُ الأَدَءِ، وَالْغَازِى فِي سَبِيْلِ اللهِ
        “Ada tiga golongan, Allah haq memberikan pertolongan; Orang yang menikah untuk menjaga kesucian, orang yang membuat perjanjian dan ingin memenuhinya, orang yang berperang di jalan Allah.” (HR Turmudzi, Nasa-i, dan Ibn Majah)

    8.  Apa hukum Nikah Mut’ah?
        Sebagian ulama menjadikan ayat; ( وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا ) sebagai dalil batilnya Nikah Mut’ah. Karena hakikat nikah adalah menjaga kesucian.

    9.  Wajibkah membuat perjanjian (mukatabah) untuk hamba sahaya?
        Makna Mukatabah secara syariat; Seorang majikan menulis surat perjanjian pembebasan hamba sahayanya dengan sejumlah uang. Jika si hamba sahaya memenuhinya, maka ia merdeka. Dalam hal perjanjian ini terdapat dua keadaan;
    • Hamba sahaya yang meminta dan majikan mengabulkannya, sebagaimana disinyalir ayat; ( وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ )
    • Hamba sahaya yang meminta dan majikan menolaknya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat;
    Madzhab Zhahiriyah; Sang majikan wajib menulis surat perjanjian pembebasan jika hamba sahaya mengajukan permintaan.
        Dalil Zhahiriyah;
    Dari ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ ) secara zhahir menggunakan kata perintah dan setiap perintah adalah wajib. Di samping itu asbab yang menjadi penyebab turunnya ayat ini, Huwaithib ibn Abdil ‘Izzi.
    Dari Atsar, yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik, ia berkata; “Sirien mengajukan perjanjian pembebasan padaku, namun aku menolaknya. Lalu ia mendatangi Umar ibn Khotthob memberitahukan halnya. Lalu Umar mendatangiku membawa air susu dan membaca ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًاۖ ). Lalu Anas menulis perjanjian pembebasan untuknya.
        Imam Daud az Zhahiri; Jika tidak wajib, Umar tidak mungkin mengangkat susu itu kepada Anas.” Madzhab ini menukil pendapatnya dari sebagian Tabi’in, seperti ‘Atho, ‘Ikrimah, Masruq, dan ad Dhohhak ibn Muzahim.
    Madzhab Jumhur Fuqaha; Majikan tidak wajib menulis surat perjanjian  pembebasan, hanya disunnahkan.
        Dalil Jumhur (Malikiyah, Hanafiah, Syafiiyah, Hanabalah);
    Dalam ayat; ( فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًاۖ ) Allah mengikat perintah-Nya dengan; “jika kalian tahu ada kebaikan pada mereka.”
    Hadits; {لاَيَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطَيِّبٍ مِنْ نَفْسِهِ} (Harta seorang muslim tidak halal kecuali dengankebaikan yang keluar dari dirinya). Hamba sahaya adalah “harta” majikannya.
    Mereka juga melandaskan pada Ijma’ Ulama, jika seorang hamba sahaya mengajukan perjanjian pembebasan, majikannya tinggal menjualnya.
        Menurut pendapat kami, pendapat Jumhur yang paling benar, hukumnya sunnah. Kalaupun Umar ibn Khotthob melakukan hal dimaksud, itu lantaran ia cenderung memerintahkan kepada yang lebih afdhal.

    10.Siapakah yang diperintahkan untuk memberikan harta dalam ayat di atas? Berapa besarnya?
        Para Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang diperintahkan dalam ayat; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِى ءَاتٰكُمْۚ ) dalam dua pendapat;
    Yang diperintah adalah orang-orang kaya yang wajib zakat. Mereka harus memberikan bagian hamba sahaya dari uang zakat, sebagaiamana yang diriwayatkan oleh Atho’ dari Ibn Abbas.
    Yang diperintahkan adalah para majikan untuk memberikan sebagian dari harta tebusan yang diterima. Sesuai dengan konteks ayat, pendapat inilah yang paling benar.
        Al Qurthubi; “Perintah itu untuk para majikan. Entah uang itu diambil dari sakunya sendiri atau diambil sebagian dari uang tebusan.”
        Para Fuqaha berbeda pendapat, apakah pemberian itu wajib? Berapa besarannya? Dalam hal ini ada dua Madzhab;
    Madzhab Syafiiyah dan Hanabalah; Hukumnya wajib. Menurut Imam Ahmad; Besarannya seperempat dari uang tebusan.  As Syafii; Tidak terbatas, tergantung pada pokok harta yang ada.
        Alasan Syafiiyah;
    Zhahir ayat; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ) adalah untuk perintah, dan setiap perintah hukumnya wajib.
    Mereka berdalil pada riwayat bahwa Umar ibn Khotthob menulis perjanjian pembebasan seorang anak yang biasa dipanggil Abu Umayyah. Lalu ia datang menemuinya dengan membawa cicilannya. Umar berkata; “Pergilah dan manfaatkan uang itu  dalam pengurusan surat perjanjianmu.” Ia berkata; “Ya Amirul Mukminin, atau aku akan menangguhkannya hingga akhir cicilan?.” Umar berkata; “Saya takut tidak mengetahui akhir cicilan itu. Kemudian ia membaca; ( وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ ).” Ikrimah berkata; “Ini adalah cicilan (kredit) pertama yang diterapkan dalam Islam.”

    Madzhab Malikiyah dan Hanafiah; Hukumnya Sunnah.
        Dalil Malikiyah dan Hanafiyah;
    Menurut mereka; Jika perintah menulis perjanjian adalah sunnah, bagaimana mungkin memberikan sebagian tebusan hukumnya bisa wajib? Dalam ayat di atas terdapat dua perintah (فَكَاتِبُوْهُمْ) dan (آتُوْهُمْ), yang berarti keduanya bisa menjadi wajib atau sunnah.
        Ibn Araby berkata; “Kalau Madzhab Syafii mengatakan bahwa memberikan sebagian harta dalam konteks ini adalah wajib, kemudian menulis perjanjian juga  wajib, ini adalah pendapat yang sangat baik. Namun jika dikatakan bahwa menulis perjanjian tidak dianjurkan, sementara memberikan sebagian harta adalah wajib. Berarti mereka telah menjadikan pokok sebagai wajib, sedangkan cabangnya sebagai sunnah. Dengan demikian, dakwah ini hanya sebatas anjuran.”
    Mereka juga berdalil pada hadits;
        أَيُّمَا عَبْدٍ كَاتَبَ عَلَى مِائَةِ أُوقِيَةٍ فَأَدَّاهَا إِلاَّ عَشْرَ أُوَاقٍ فَهُوَ عَبْدٌ
        “Tidaklah seorang budak yang ditulis atasnya perjanjian (pembebasan) sebesar 100 Uqiyah, namun ia hanya bisa memenuhi 10 Uqiyah, maka statusnya tetap hamba sahaya.”
        Jika pemberian itu hukumnya wajib, tentu budak itu merdeka dengan sejumlah uang yang mampu dibayarkannya.
        Mereka juga berdalil pada riwayat Aisyah ketika Barirah datang meminta bantuannya untuk melaksanakan surat perjanjian atas dirinya. Aisyah berkata kepadanya; “Jika keluargamu suka, semua tebusan itu akan kuberikan kepada mereka dan budakmu ini menjadi milikku.” Namun keluarganya menolak. Kemudian Aisyah memberitahukan hal tersebut kepada Rasulullah saw dan beliau bersabda kepada Aisyah; “Belilah dia dan merdekakanlah. Sesungguhnya budak itu menjadi hak orang yang memerdekakan.”

     Apa yang dimaksud dengan pemaksaan? Apakah hukuman terangkat dari lelaki dan wanita yang dipaksa (melacur)?
        Firman Allah; ( وَلاَ تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَآءِ ...) mengisyaratkan bebasnya orang yang dipaksa melacur dari delik hukum. Dosanya kembali kepada orang yang memaksa.
        Pemaksaan adalah tekanan yang dilakukan kepada seseorang agar mau melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Biasanya diiringi upaya menakut-nakuti, misalnya akan membunuhnya atau menghilangkan salah satu anggota badannya.
        Pemaksaan untuk melakukan perzinahan sama halnya dengan pemaksaan untuk mengucapkan kata-kata kafir dari Islam. Seperti yang disinyalir Allah SWT, an Nahl 106;
    (إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطِمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ)
        Para ulama berbeda pendapat mengenai lelaki yang dipaksa melakukan perzinahan. Apakah hukum juga terangkat darinya sebagaimana wanita yang dipaksa melacur?
        Jumhur Ulama;  Pemaksaan dapat membuat hukum terangkat pada seorang lelaki, sebagaimana yang berlaku pada wanita. Sama halnya dengan terangkatnya dosa seperti yang disinyalir ayat di atas. Atau sesuai sabda Rasulullah saw;
        رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
        “Kesalahan telah diangkat dari ummatku, begitu pula dengan kelupaan, dan segala sesuatu yang tidak diinginkan.” (HR Ashabus Sunan)
        Madzhab Abu Hanifah; “Untuk lelaki hukum tetap harus ditegakkan, kecuali jika ia dipaksa oleh penguasa. Karena yang dimaksud dengan paksaan adalah tidak adanya kerelaan untuk melakukannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa keterpaksaan  itu selalu dirundung ketakutan dan kegelisahan amat sangat. Namun ketika perbuatan dimaksud dilakukan, lalu menimbulkan gairah dan dia menikmatinya, maka unsur paksaan menjadi hilang. Karena itu, hukum harus ditegakkan atasnya.”


    METHODE PERZINAHAN DI ZAMAN JAHILIYAH

        Pelacuran yang terjadi pada zaman Jahiliyah terdiri dari 2 model;
    1.)  Pelacuran dalam bentuk pernikahan
        Pelacuran semacam ini biasa dilakukan oleh sebagian sahaya perempuan yang belum memiliki majikan. Atau oleh wanita-wanita merdeka yang belum memiliki rumah atau tidak memiliki keluarga yang bertanggung jawab atas dirinya.
        Biasanya seorang wanita duduk di rumahnya dan membuat kesepakatan dengan beberapa orang lelaki dalam waktu yang bersamaan. Bahwa mereka akan memberinya nafkah dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Sebaliknya mereka diperkenankan untuk memuaskan hajat (baca: kebutuhan seksual) mereka kepadanya… Apabila wanita itu hamil dan melahirkan, ia akan menulis surat kepada mereka untuk berkumpul di kediamannya. Wanita itu berkata; “Kalian semua telah maklum terhadap apa yang telah kalian lakukan. Saya telah melahirkan seorang anak. Dan ini adalah anakmu, wahai Fulan. Berilah dia nama sesuai yang engkau sukai dan masukkan dalam nasabmu.”
    2.) Pelacuran umum, baik dari kalangan hamba sahaya maupun wanita merdeka.
        Pelacuran model ini paling banyak terjadi pada hamba sahaya wanita dan kemungkinan juga terjadi pada sebagian wanita merdeka. Dalam hal ini juga terdapat 2 jenis;
    a) Sebagian majikan mewajibkan kepada hamba sahayanya untuk mencari uang dalam jumlah besar, yang harus disetorkan kepadanya setiap bulan. Tentu saja uang sebanyak itu tidak bisa dipenuhi hanya dengan bekerja secara normal. Akhirnya mereka melacurkan diri untuk memenuhi tuntutan tuannya.
    b) Sebagian Arab memajang budak wanitanya di beberapa ruangan dan di pintunya dipasang banner agar dimaklumi oleh setiap orang yang ingin memuaskan syawatnya. Jika ada yang menolak melakukannya, mereka akan memukul dan menyiksanya.
        Pelopor dari rumah bordil model ini adalah tokoh munafiq, Abdullah ibn Ubay ibn Salul yang memiliki tiga hamba sahaya yang cantik-cantik.
        Syeikh Muhamad Ali as Shobuny; Pelacuran yang terjadi pada zaman kita di abad 20 ini, tidak berbeda dengan yang dilakukan mereka di masa lalu. Bedanya, pelacuran zaman ini berlangsung dalam lindungan undang-undang negara, dibeking oleh aparat dengan imbalan tertentu.

        Rasulullah saw bersabda;
        مَا ظَهَرَتْ الْفَاحِشَةُ فِى قَوْمٍ فَعَمِلُوْا بِهَا إِلاَّ أُصِيْبُوْا بِالأَمْرَاضِ وَالأَوْجَاعِ الَّتِى لَمْ تَكُنْ فِى أَسْلاَفِهِمْ
        “Tidaklah suatu kekejian tampak pada suatu kaum dan mereka turut melakukannya, kecuali akan ditimpakan kepada mereka berbagai penyakit yang tidak pernah ditimpakan pada kaum sebelum mereka.”
        Berbagai penyakit mematikan yang muncul di kalangan para pelaku seks bebas, telah dikemukakan oleh Rasulullah saw di masa lalu.

        Wallahu a’lam….
                        …….semoga bermanfaat…..


     

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar