Jumat, 06 Mei 2016

UNTUK URUSAN IBADAH KITA HARUS BERLARI, URUSAN DUNIA KITA HARUS BERJALAN (2)


Ketika kita menggeluti urusan-urusan dunia, tidak jarang kita terjebak dalam sebuah dilema; "Apakah kita akan mengutamakan kehidupan dunia ataukah akhirat?
Pernahkah kita mengalami suatu kondisi, ketika waktu 24 jam ternyata masih sangat kurang untuk menyelesaikan urusan duniawi kita. Atau kita merasa tidak punya waktu lagi untuk melakukan pengabdian padaNya? Atau kita terlampau takut kehilangan urusan dunia jika meluangkan waktu menghamba padaNya, walau hanya beberapa saat?
Jika kita pernah berada dalam situasi tersebut, diakui atau tidak, kita masih memiliki anggapan bahwa kita mendapatkan uang lantaran kita bekerja. Lantaran kita sudah mengorbankan segalanya, harta, waktu, dan jiwa untuk mendapatkannya. Tak jarang kita meninggalkan rumah dan keluarga untuk memperjuangkannya.
Mari kita cermati lebih dalam dengan melihat fakta yang tampak di sekitar. Agar kita lebih mengerti bahwa anggapan kita di atas tidak sepenuhnya benar.
Ketika adzan Subuh berkumandang, saya sering berpapasan dengan para pemulung yang mengais tong sampah dengan penerangan lampu senter. Boleh jadi mereka berangkat dari tempat tinggalnya sekitar jam 03.00, jauh sebelum matahari terbit. Dan mereka pulang setelah matahari terbenam. Motivasi mereka kurang lebih; "Harus berangkat lebih awal sebelum didahului orang lain."
Pada sisi yang lain kita lihat orang-orang yang berangkat pada jam 07.00 dan pulang pada jam 15.00 atau 16.00, ternyata rizkinya lebih banyak daripada para pemulung itu.
Tidak jarang pula kita lihat orang yang bekerja membanting tulang, tapi ternyata ia tidak mendapatkan apapun dari yang dikerjakannya? Boleh jadi kerugian menggerogoti usahanya atau mungkin dia ditipu oleh koleganya.
Namun tidak sedikit pula kita lihat orang yang tidak memiliki pekerjaan, namun ia mendapatkan sejumlah uang...!
Fenomena apakah gerangan yang terjadi di sini?
Dari gambaran kecil ini, tampak dengan jelas betapa tidak berdayanya kita di hadapan Allah SWT.
Namun kita jarang menyadari ketidakberdayaan itu. Karenanya kita selalu menganggap remeh setiap panggilanNya. Kita dengan sombong selalu mendichotomi antara kehidupan dunia dan akhirat kita.
Lagi-lagi...kita juga tak kunjung menyadari bahwa ketika kita tidak merespon panggilan kebaikan saat kita mampu melakukannya dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi, itu merupakan kesombongan dan keangkuhan yang nyata. Maasyaa Allah...
Saudaraku, mari tanamkan dalam hati kita tagline di atas. Jangan sampai "KITA BERJALAN SAAT DIPERINTAHKAN UNTUK BERLARI, DAN BERLARI SAAT KITA DIPERINTAHKAN UNTUK BERJALAN."
Nah...

Kamis, 05 Mei 2016

UNTUK URUSAN IBADAH KITA HARUS BERLARI, URUSAN RIZKI KITA HARUS BERJALAN (1)

Saya terkesima saat guruku, KH. Syarqowi Zhofir berkata;
"Untuk urusan penghambaan kita diperintahkan untuk berlari, bergegas dan bersegera. Sementara untuk urusan rizki kita hanya diperintahkan untuk berjalan, berikhtiar, dan percaya."
Pikiranku menerawang pada berbagai peristiwa yang datang silih berganti. Pada segala yang saya rasakan, saya lihat, dan saya tekuri. Biasanya bermuara pada rasa syukur, betapa beruntungnya saya dapat menikmati itu semua.
Memandang orang yang selalu menyediakan kesempatan untuk sholat jamaah di masjid, mengundang kecemburuan tersendiri.
Laki-laki tawadhu itu adalah tukang becak yang awalnya selalu bergelut dengan ilmu-ilmu kejawen. Jarang sekali wajah itu terbasuh sejuknya air wudhu. Sebagaimana tukang becak pada umumnya, mereka bekerja tanpa batas waktu untuk mencari nafkah. Sementara waktu luangnya digunakan untuk tidur di atas becaknya atau nongkrong sambil menunggu penumpang. Di benak mereka cuma ada satu rumus; "Kalau tidak bekerja keras, mereka mau makan apa?." Kalau ditanya pada mereka; "Kalau gak ada penumpang, kenapa gak pulang aja dulu untuk setidaknya bertemu keluarga." Mereka menjawab diplomatis; "Wong saya berada di sini kan juga untuk keluarga mas." Bahkan jika mereka diingatkan tentang sholat, mereka berkata sinis; "Bagaimana mau sholat mas, wong nyari rizki aja susah."
Kondisi mereka ini berbanding sangat kontras dengan lelaki paruh baya, yang juga berprofesi sebagai tukang becak yang saya kenal. Ia  bernama Sukarjan, lelaki bersahaja dengan 2 putra.
Kesibukannya di pasar tidak membuatnya lupa pada yang memberinya kehidupan. 30 menit sebelum adzan berkumandang ia menggowes becaknya pulang untuk melaksanakan sholat jamaah. Setelah itu ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk bercengkerama dengan keluarganya, mengantar anaknya sekolah atau mengaji, dan bersosialisasi dengan lingkunganya. Tak jarang ia tidak narik becak untuk ikut serta kerja bakti dan mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya.
Saya sering punya kesempatan sehabis maghrib atau isya' bertanya;
"Gak narik pak?."
"Narik pak. Sebentar lagi saya berangkat," jawabnya santun.
"Tidak takut kehilangan rizki pak? Bukankah jam segini saatnya barang-barang pasar turun?."
Mendengar pertanyaanku dia tersenyum khas sambil menjawab: "Nggak pak. In syaa Allah kalau rizki, gak kemana."
"Saya malah takut kehilangan kesempatan melakukan pengabdian pada Allah. Saya takut bila penghambaan yang saya lakukan masih belum bisa menghapus dosa-dosa saya di masa lalu," ujarnya lebih lanjut.
Saat ia sibuk kerja bakti bersama warga (saat yang menggunakan jasanya lagi banyak-banyaknya di pasar), saya sempat menanyakan hal sama. Jawabannya kembali membuat saya terkesima; "Kerja bakti kayak begini kan masuk ibadah juga pak? In syaa Allah, Allah akan mengganti dengan yang lebih baik untuk saya dan keluarga."
Saat adzan berkumandang berbarengan dengan hujan yang sedemikian deras dan air menutupi badan jalan sampe mata kaki, saya lihat dia berjalan dengan payung lusuh menuju masjid. Selepas sholat, sambil menunggu hujan reda, saya bercengkerama dengannya.
"Maa syaa Allah... hebat banget bapak ini. Hujan deras kayak gini masih datang ke masjid, saat banyak orang merasa memiliki cukup alasan untuk sholat di rumah," tanyaku sambil berdecak kagum.
"Entah kekuatan semacam apa yang memotivasi bapak untuk selalu hadir memenuhi panggilan sholat jamaah."
"Tidak ada pak," jawabnya.
"Saya hanya berpikir, untuk narik becak saat hujan sederas apapun selalu saya tembus. Mengapa untuk Allah saya tidak melakukan hal yang sama?," lanjutnya.
Di sini kecemburuanku padanya semakin memuncak... Maa syaa Allah, anugerahkan rahmatMu padaku untuk bisa melakukan yang lebih dari yang lelaki ini lakukan...

                                                           ***

Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa rizki akan mereka dapatkan hanya dengan bekerja dan bekerja. Hingga mereka melupakan aspek penghambaan yang sebenarnya merupakan aspek paling dominan untuk mendapat kemaslahatan hidup.
Lebih riskan lagi ketika banyak orang menganggap penghambaan hanya terbatas pada melakukan ibadah-ibadah mahdhoh, yang membuat mereka memilih pola hidup individualistis.
Padahal semua kebaikan yang kita lakukan kepada orang-orang di sekitar kita, Allah masukkan dalam kategori ibadah. Yang berpotensi besar melapangkan dan memudahkan hidup orang yang melakukannya. Dan di akhirat kelak berpotensi memasukkan pelakunya ke dalam surga.
Singkat kata, setiap orang yang melakukan kebaikan untuk saudaranya, berarti telah melakukan amalan-amalan surgawi.
Coba kita cermati satu ayat dalam al Qur'an;
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat krusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Al Qashas 28 : 77)
Berdasarkan ayat di atas, seharusnya urusan kehidupan akhirat lebih dikedepankan daripada urusan duniawi yang hanya sebagai penopang.
Rasulullah saw berpesan bahwa salah satu ciri sempurnanya iman seseorang adalah menemui saudaranya dengan wajah berseri-seri. Selain itu beliau juga berpesan agar setiap kita tidak merasa risi untuk melakukan kebaikan sekecil apapun dan dalam waktu sesingkat apapun. Boleh jadi amal paling kecil inilah yang dapat mendatangkan kemaslahatan hidup kita, di dunia maupun di akhirat.

                                                           ***

Saya jadi teringat pada salah seorang sahabat Rasulullah saw yang berbadan kurus namun beliau muliakan lantaran responsifnya terhadap ajakan-ajakan kebaikan. Dia bernama Abdullah ibn Mas'ud, lelaki penggembala yang memeluk Islam karena kekagumannya pada seorang lelaki (yang kemudian dia kenal bernama Muhamad saw), yang mampu menjadikan ambing seekor anak kambing betina memancarkan air susu. (Kisahnya in syaa Allah akan ditulis secara khusus).
Suatu hari ketika Rasulullah ingin mengambil buah kurma dari pohonnya, Abdullah ibn Mas'ud segera berdiri menawarkan diri untuk mengambilkannya. Ia segera naik dan ketika mengangkat tangannya untuk memetik kurma, lengan bajunya tersingkap turun. Itu terjadi lantaran hastanya sedemikian kurus. Tak ayal para sahabat mentertawakannya.
"Apakah kalian tertawa lantaran dua hastanya yang kurus, hingga lengan bajunya tersikap? Demi Allah seandainya kalian timbang dua hasta Abdullah ibn Mas'ud dengan dua gunung Uhud, niscaya dua hastanya masih lebih berat," tukas Rasulullah memberikan pembelaan.
Yang harus kita tanamkan dalam hati; Tidak ada seorangpun yang akan mendapat kebahagiaan tanpa berupaya untuk membahagiakan orang lain. Tidak ada seorangpun yang bisa mendapat kelapangan tanpa berupaya melapangkan orang lain.
Bukankah Rahmannya Allah sangat tergantung pada upaya para hambaNya?!
                                                                                   Bersambung....